BILA ANDA INGIN MENDOWNLOAD TEKS DARI BLOG SAYA, SILAHKAN DI DOWNLOAD, CARA2 MENDOWNLOAD ADALAH SBB:

1. PILIH TULISAN YANG AKAN DI DOWNLOAD
2. SETELAH ANDA KLIK, ANDA AKAN DI BAWA KE SITUS ADF.LY, KLIK SKIP AD
3. ANDA AKAN DI BAWA KE MEDIAFIRE.COM, KILK LINK DOWNLOAD THIS FILE UNTUK MENDOWNLOAD

Sabtu, 22 Oktober 2011

AUTO BIOGRAFI


AUTO BIOGRAFI
DIA yang membibing aku ke hadirat TUHAN YESUS


RENCANA PERTANDINGAN DI LAPANGAN LAMBAU

MALANG


            Sore itu kami dari gugus depan kota dari Pasukan Kuda Putih mengadakan latihan mingguan di Gedung Gua Macan Jl. Kawi 13 Malang. Dari 8 regu yang ada dipilih 4 regu yang akan mewakili pertandingan persahabatan di Lapangan Lambau Jl. Ijen Malang.
Regu Burung Hantu mendapat tugas pertandingan tali menali.
Regu Walet mendapat tugas semaphore
Regu Banteng mendapat tugas kemah indah
Regu Bajul Putih, Burung Hantu, Walet dan Banteng ikut sluipen dan potong kompas. Setelah menerima penjelasan, masing masing regu diberi kesempatan membahas tugas selanjutnya di tempat terpisah.
Penulis termasuk regu Burung Hantu berkumpul sendiri di suatu pojok rumah untuk membahas tugas, kepala regu kami adalah Kak Ronny menerangkan dengan ringkas maksud dan tujuan pertandingan yang sifatnya persahabatan, kami semua mengerti sebab itu sudah pernah dilaksanakan, cuma karena ini merebut tropi dari mantan walikota Malang jadi agak lebih penting jadinya.
“Pertandingan tali menali dilaksanakan oleh satu orang diambil dari regu burung Hantu ialah saudara U. Nibe”. Aku terlonjak kaget tapi sementara aku diam saja, “ Bagaimana ada komentar?”. Kak Ronny bertanya. ” Kak Ronny, anda tahu tali menaliku sangat buruk, apa tidak sebaiknya aku di semaphore saja?” tanyaku, dia memandangku lama lama. “Ini adalah tugas U. Nibe, berarti kau dipilih dan dipercaya, seharusnya kau bangga, bukan mengeluh, pokoknya kau harus menang dan kita semua harus menang!” katanya berapi api. Dan tugas selanjutnya ialah sluipen maka saudara Soekardi Tj. harus hadir, sebab dia satu satunya anggota Pramuka
yang mempunyai penglihatan lebih, katanya lagi.
Aku hanya bisa menjawab “Oke Kak, kami siap tempur!”
Aku berusaha latihan dengan sungguh sungguh akan tetapi waktuku tetap saja 15 menit untuk 16 jenis tali menali. Sedang menurut teman teman waktu lawanku cuma 7 menit bagaimana mungkin bisa menang pikirku. Memang kenyataan disamping sekolah aku harus bekerja untuk sekedar menutup anggaran yang sangat minim.
Dua hari sebelum pertandingan diadakan Kak Ronny datang ke rumahku untuk menanyakan perihal latihanku. “Wah payah Kak, mungkin kita terpaksa kalah dalam hal ini” kataku. “Berapa waktumu?” Kak Ronny bertanya. “15 menit tidak kurang” jawabku. “Sudah maksimum?” katanya lagi. Aku hanya mengangguk. Dia berjalan mondar mandir di ruangan tamu seperti berpikir berat. “Kau rupanya pecinta tanaman hias” katanya. Aku hanya mengangguk. “Ini seharusnya ada warna-warna tertentu yang harus kau tambahkan biar lebih semarak, tidak hanya hijau melulu” katanya. “Aku belum bisa kak” jawabku. “Eh, kamu, coba kamu lihat di taman taman kota atau tempat penjualan bunga di sekitar Sena Putra, ini kalau dikembangkan bisa untuk karier” katanya lagi. “Bagaimana masalah pertandingan?” tanyaku lagi. Kulihat dia mengernyitkan alisnya dan bernafas panjang. “Begini memang harapan Rakanta[Pemimpin Gugus Depan Pasukan Kuda PUTIH], kita HARUS MENANG , tinggal kamu mau menang atau tidak, ini adalah suatu kehormatan bagi kamu sendiri dan bagi Gugus depan kita” katanya sambil meremas pundakku. “Bagaimana mungkin Kak, mengapa tidak memilih teman lain, itu si Mona dari regu Melati dia selalu menang kalau pertandingan antar regu” kataku lagi. “Tidak, dia tidak mampu dalam hal ini ” jawabnya. “Begini ya coba kesini, ini terserah kau, kau mesti bisa ;  bukankah kau pandai sulap?” bisiknya. Aku terlonjak sementara dia bergegas berpamitan terlihat mukanya sangat keruh.
Aku termenung lama sekali, mengapa dia berkata seperti itu. Selama  ini Kak Ronny adalah idolaku seseorang yang tegas, bersih, pemberani dan bertanggung jawab. Memang kalau dengan sulap sudah tidak ada  masalah lagi aku pasti menang akan tetapi bagaimana dengan Dasa Dharma yang selalu kita pegang dan hayati. Sungguh aku pusing untuk memilih, sampai aku tertidur belum bisa menentukan. Bangun pagi badanku sakit semua sebab hatiku gelisah. Aku mesti bagaimana, pikirku, aku pasti menang dengan cara sulap akan tetapi hati kecilku tidak bisa menerima itu. Akan tetapi, mengapa Kak Ronny dan Rakanta menugaskan aku untuk itu, aku sungguh gelisah, resah dan tidak mampu memutuskannya, atau karena mengejar hadiah tropi dari  mantan walikota Malang itu agar Gugus Depan Kuda Putih ternama. Ternama dengan cara yang licik bukanlah nilai yang baik, atau ... atau ... atau ... akhirnya aku tertidur.

PERTEMUAN YANG MENGGETARKAN

Pulang dari sekolah aku jalan kaki dan kini sudah berhasil kuputuskan masalah pertandingan. “Kalahpun tidak apa asal aku sudah berusaha semampuku” pikirku. Tiba-tiba Kak Ronny sudah berada di sampingku dengan sepeda motornya. “Ayo naik, kamu aku kenalkan dengan musuhmu, biar bisa mengatur strategi” katanya. “Siapa dia Kak?” jawabku. “Anak anak menyebutnya Si macan Betina dari SMA 5” jawab Kak Ronny.
Di ruang olah raga SMA 5 kulihat 2 orang gadis menghadap ke tembok sedang latihan tali menali dengan tekun. Yang satu memegang stopwatch dan yang lain memegang tali. Karena tekunnya sehingga mereka tidak tahu kehadiran kami. “Yah sudah berapa?” tanya seorang gadis pada temannya. “6 menit 2 detik” jawab temannya. “Yah kita berhasil, kita berhasil !!” mereka berpelukan erat. Mereka segera menyadari kehadiran kami, “He .. Kak Ronny, ada apa Kak?” tanya seorang gadis. “Ini temanku Mr. U. Nibe kelahiran Sumbawa, besar di Malang dan ini Miss Sri Rejeki kelahiran DIY besar di Jakarta, ayo kenalan” kata Kak Ronny dengan tersenyum. Kami bersalaman terasa tangannya sehalus sutera agak gemetaran “Jeki dan kusambung Nibe”, matanya yang berbinar-binar penuh pesona, bibirnya yang penuh dan lipstik merah darah begitu indah, wajah oval yang putih bersih sedap dipandang, rambut yang hitam lebat dipotong sebatas telinga dan diikat pita hitam sungguh manis, dan senyumnya melebar manja kekanak kanakan. Kami saling berpandangan saling takjub terasa getar getar indah di dalam hati, tidak terasa  salam kami semakin erat dan tiba-tiba “Heh, salamannya jangan lama lama” terdengar suara Kak Ronny tangan terlepas kami berdua tersenyum tersipu–sipu. “Kena kau sekarang, jatuh cinta pada pandangan pertama” kata Kak Ronny berdeklamasi. Tiba-tiba Jeki menyerangnya dengan pukulan beruntun di dadanya, Kak Ronny malah tertawa terbahak-bahak. “Ayo lihat, lihat, lihat ini, muka Jeki berona merah itu tandanya ...” tangan Jeki menutup mulutnya sambil merajuk manja. “Kak Ronny ... Kak Ronny kau nakal, ku gigit kau ....” tiba-tiba Jeki menggigit perut Kak Ronny. Kak Ronny mengaduh “Sudah sudah Jeki aku kapok”. Jawab Jeki “awas kalau mengolok lagi aku makan ususmu ....” “Eh, sadis amat kau ... Jeki ” kata Kak Ronny . “Biar ... biar kapok kamu “jawab Jeki. Terlihat wajahnya merah padam dia berbalik dan dengan cepat mengemasi barang-barangnya. “Sudah siang aku mau pulang” kata Jeki sambil beranjak mau pulang. “He ....he ..ini belum selesai Jeki ” kata Kak Ronny sambil menghadang di pintu masuk. “Ada apa lagi mau bikin malu aku ya?” jawab Jeki dengan ketus. “Sabar .....sabar Jeki Mr. Nibe ini adalah bakal temanmu main tali menali besok” jawab Kak Ronny dengan sabar. Tiba-tiba kini matanya menjadi tajam penuh wibawa, tangannya bertolak pinggang, dia memandangku dari kaki sampai kepala sampai di mataku pandangannya cepat dialihkan. Terasa desir indah di jantungku saat sekilas mata kami bertemu. Dengan tidak ragu-ragu dia mendekat padaku “Heh ...Nibe engkau sudah siap melawanku?” katanya ketus. Aku hanya mengangguk sambil memandang wajahnya lekat-lekat. Dia berjalan anggun sambil berjalan mengelilingiku. “Engkau sudah tahu waktuku;  sekarang berapa waktumu?” katanya dengan tegas. “Itu rahasia, Jeki ” jawabku. “Eh, kau tidak sportif Nibe, rupanya kau takut denganku bukan” katanya sambil sambil balik kanan dan   memandangku lekat lekat. Eh, anak ini pandai menggertak rupanya pikirku. Selang beberapa saat Kak Ronny berkata “baiklah Nibe bicaralah apa adanya” dan jawabku “waktuku bisa 5 menit, bisa 10 menit, atau 1 jam yah ..sesuai kebutuhan” jawabku diplomatis. Terlihat sekejab mata Kak Ronny terbelalak dan mata Jeki meredup. “Apa? ... 5 menit? Impossible ..., rupanya kau datang untuk menterorku bukan?” kata Jeki penuh selidik. “Bukan begitu Jeki, aku datang hanya ingin tahu betapa cantiknya macan betina dari SMA 5” jawabku sambil cekikikan. “Oh, gombal kau baru kenal sudah merayu ... ayo cepat pergi” desisnya.
Kami berdua tertawa terbahak-bahak “sampai ketemu di arena Jeki ” kataku sambil melambaikan tangan “Awas kamu ya” jawabnya sambil memperlihatkan tinjunya, meski sikapnya kasar kulihat matanya berbinar-binar terasa desir-desir indah di jantungku. “Anak itu cantik tetapi ketus sekali” kataku. “Itulah dia terkenal dengan julukan si macan betina dari SMA 5” jawab Kak Ronny. “Dia itu emosional tapi terkadang bisa halus seperti sutera” kata Kak Ronny lagi. “Coba masak di sekolah kok pakai lipstik begitu tebal” kataku. “Dia kan terbiasa di Jakarta di sana pakai lipstik tebal sudah biasa” jawab Kak Ronny. “Bagaimana tentang penampilannya yang kasar dan ceplas ceplos itu” kataku. “Kehidupan di Jakarta itu penuh dengan persaingan dan perjuangan, maka jadinyaya seperti Jeki itu, istimewanya dia itu senang akan hal hal yang penuh tantangan” jawab Kak Ronny. “Dulu keluargaku hidup berdekatan dengan keluarga Jeki, maka aku mengerti Jeki dan keluarganya, dia menerima pendidikan yang disiplin dan keras bukan main. Keluarganya dari kalangan elit militer, maka kau tidak perlu heran kalau nanti tiba-tiba kena pukul hanya gara gara tidak tepat waktu” tegas Kak Ronny.

KEBIMBANGAN

Malam itu aku sulit tidur mengenang perkenalan dengan Jeki atau Sri Rejeki seorang gadis cantik, ketus, sombong dan tomboy. Belum pernah aku menderita perasaan seperti ini. Rupanya aku ini mau gila rasanya, tiba-tiba aku teringat kata seorang Frater “Apabila engkau menghadapi wanita jangan engkau dengarkan suara yang keluar dari mulutnya, akan tetapi lebih dengarkan apa yang dikatakan matanya sebab mata adalah pelita hati, maka dari matanya engkau melihat kenyataan hatinya”
Aku terlonjak bangun dari tidurku, “Yeah aku tahu kini” desisku. Betapa saat perkenalan itu kami berpandangan begitu lama seakan ada magnit saling menarik kami. Sinar matanya yang berbinar binar penuh kekaguman, mungkin saja ada kesamaan rasa antara hatiku dan hati Jeki, pikirku, oh, mungkin juga aku ini kena virus GR betapa memalukan, tapi tidak, tidak mungkin hatiku bergolak sendiri. Berarti apabila aku kalah dalam pertandingan ini, maka aku tidak punya gengsi di hadapannya, maka aku harus menang, ya harus menang jerit hatiku. Akan tetapi dengan Dasa Dharma? Aku akan menipu diri sendiri, oh, betapa sulit hal ini diputuskan, pusing sungguh pusing kepalaku memikirkannya, padahal kemarin siang aku sudah memutuskan untuk kalah asal benar tapi kini lain jadinya; aku berusaha tidur mataku kupejamkan akan tetapi yang kelihatan malah wajah Jeki dengan senyum manja yang kekanak kanakan yang menggemaskan itu, bibirnya yang penuh dan sempurna itu, oh, aku sungguh terbius olehya, aku terlonjak bangun dan terpekik “aku harus menang aku harus menang, demi merebut hatinya” tegasku.
“Oh, mungkin seperti inilah hati Nabi Adam waktu mempertimbangkan makan buah kuldi atau tidak waktu di taman firdaus dan akhirnya demi cintanya dengan Hawa, maka Nabi Adam bertekat untuk memakannya meski tahu dia akan mati, dan mati bersama dengan Hawa adalah indah sekali. ”

PERTANDINGAN PERSAHABATAN
Ceremony pertandingan itu dihadiri mantan Walikota Malang sebab beliau adalah mantan pendiri kepanduan Indonesia, sungguh membanggakan.
Kulihat betapa kecewanya Jeki setelah juri menyatakan aku sebagai pemenangnya di mana hanya selisih beberapa detik. Dia menangis di arena sementara aku termenung-menung menangis dalam hati sebab aku tahu ini kemenangan palsu. Dia  tidak mau menerima salamku, di tepiskan tanganku dengan penuh emosi dan dia terus menangis tersedu sedu “Ini tidak mungkin, ini tidak mungkin” katanya dan terpaksa dia dipapah keluar dari arena, sementara aku berjalan mengikutinya. Di ruang ganti pakaian ia tetap menangis di pelukan ibunya “:Sudahlah, sudahlah jangan menangis, memalukan ” kata ibunya menghiburnya. Sementara aku duduk menunggu di belakangnya. Tidak lama kemudian “Jeki, kita masih ada 3 pertandingan lagi, ayo bangkit kataku”. Begitu mendengar suaraku dia segera bangkit. “Hei mengapa engkau masih di sini ayo pergi sana, ayo pergi jangan di sini!” katanya dengan sombong. “Oke, oke Jeki aku pergi dulu ya?” jawabku aku tetap biasa biasa saja, di luar terdengar suara kelebatan bendera.
Rupanya pertandingan Semaphore sudah dimulai, aku pergi ke tempat perbekalan, kuperiksa peralatan kemah, eh, ternyata seikat patok bambu dan  pemukulnya hilang. Kulihat Kardi Tj. lewat. “Hei, cepat sini” kataku. “Ada apa?” dia bertanya. “Tunggu... alat-alat kemah kita ada yang hilang, aku lapor ” kataku dan bergegas lapor ke panitia. Segera terdengar dari loud speaker berita peringatan agar Kepala Regu memeriksa peralatan kemah masing masing sebab dari regu Burung Hantu beberapa peralatan kemah hilang. Maka gemparlah diluar masing masing regu berlarian hendak memeriksa perbekalannya. Kak Ronny datang tergopoh gopoh. “Apa yang hilang? ” katanya “Patok dan pemukulnya... Kak” jawabku. “O ya begini saja masih ada waktu 0,5 jam lagi, cepat kamu dengan Kardi membuat lagi!” perintahnya. ”Oke Kak” kataku segera aku berlarian keluar dan membuat patok. “Eh, di mana kita cari bambu” tanyaku. “Oke kau di sini saja, sambil mengasah pisau aku cari bambu” kata Kardi sambil berlalu, tidak lama kemudian dia sudah datang sambil menyeret sebatang bambu. “Heh Di , kau dapat dari mana?” tanyaku. “Dari SMP Puteri Panderman” jawab Kardi. “Heh kamu mencuri ya” jawabku sambil melotot. Kardi senyum senyum saja. “Tidak perlu cemas, nanti aku ganti” jawabnya. Ternyata itu adalah bambu untuk umbul umbul. Tidak lama kemudian terdengar dari loud speaker bahwa pertandingan  pemasangan kemah di malam hari dimulai jam 18.00 WIB dimulai dari Pos Utama. Kami Regu Burung Hantu mendapatkan nomor terakhir, kami bertujuh bergerak di jalan setapak yang sudah gelap gulita sambil mengangkat perlengkapan kemah. Semakin lama semakin berat terasa beban itu. Akan tetapi terasa janggal arah kami dari perintah tanda jejak semakin jauh dari lapangan Lambau, jam 19.15 kami berhenti dan berunding atas kejanggalan itu. Ahirnya diputuskan mengirim kurir ke lapangan Lambau ialah Kardi Tj. Sebab dialah satu satunya yang mampu melihat dalam gelap. Jam 20.00 WIB Kardi Tj. Datang melapor dengan berbisik bisik “Tanda jejak kita memang dihapus regu lain dan kita disesatkan”. “Kamu kok tahu dan dari regu mana” jawab Kak Ronny . “Mereka dari regu SMA 5, begini aku lari berkeliling ke lapangan dan melihat regu SMA 5 sudah mulai memasang kemah di sana, terus aku mendekati mereka dalam jarak 10 m dan mendengar percakapan dalam bahasa terbalik demikian ”Sudah kau hapus?” oke sudah beres ”Terus kau bawa kemana” “Ke TMP” jawab yang lain ”Biar mampus mereka hihi hi....hi...hi” mereka tertawa cekikikan. Terus aku berusaha mencari tempat kita dan kebetulan cepat kudapatkan kira kira 100 m dari tempat mereka. “Oke cukup, sekarang kita langsung ke tempat kemah sebab nanti kita bisa ketinggalan” perintah Kak Ronny terdengar marah. Dekat patok itu kita dapatkan sepucuk surat dengan perintah kemah didirikan menghadap ke selatan. Itu hal yang mudah dengan pertolongan bintang gubug penceng kami berhasil mengambil arah selatan. Dalam waktu tidak lama kemah sudah berdiri dengan pertolongan sinar lilin yang kami tutup dengan stoples. Seterusnya pagar tali dan tiang bendera dipasang dan yang lain mulai memasak nasi dan sayur dengan bahan bakar alkohol.
Tepat jam 21.30 WIB terdengar penerangan dari Pos Utama bahwa sebentar lagi penilaian lomba kemah indah dan pemasangan kemah dalam gelap akan segera dimulai. Kami segera memasang lampu gas di pojok pojok pagar. Tidak lama kemudian di sana-sini kelihatan kemah kemah berdiri di keremangan malam. Terlihat di kejauhan Tim Penilai mulai bergerak dengan penerangan 2 buah lampu Prtromax Storm King. Mereka semua ada 6 orang salah satunya adalah bapak mantan Walikota Malang, sungguh membanggakan, Kak Ronny memerintahkan semua berkemas agar perkemahan terlihat lebih bersih dan rajin. Tiba-tiba Kardi muncul dan segera melapor kepada Kak Ronny bahwa regu Asparaga dari SMA 5 gempar. Mereka tidak menyangka kalau Regu Burung Hantu berhasil memasang kemah dalam gelap.”Apa ? , mereka berhasil sampai di posnya” tanya kepala regu Asparaga dari SMA 5 dengan marah. ”Pasti mereka tidak lewat tanda jejak besok, kita akan protes” kata yang lain. Kak Ronny kelihatan tersenyum saja. “Biarkan saja mereka akan  terjebak sendiri” katanya “Oke, Kardi terus kau awasi mereka” perintahnya. Tidak terasa sudah jam 11.30 wib berarti 0,5 jam lagi pertandingan Sluipen dimulai, aku mendekati Kak Ronny “Kak aku merasa, sejak mereka kalah di tali temali mereka terus memusuhi kita dan jelas yang dimaksud mereka adalah aku, bagaimana nanti yang menyerang mereka aku saja bersama Kardi Tj,” kataku. “Mungkin iya , baiklah  kau sebagai penyerang” jawab Kak Ronny.
Jam 24.00 wib tepat aku bergerak dengan Kardi Tj. Kupegang erat sabuknya, sebab aku tidak bisa melihat apa-apa, semua terlihat hitam. Tidak lama kemudian terlihat di kejauhan sinar lampu gas sangat kecil. “Itu mereka”, bisik Kardi.”Oke aku juga tahu” jawabku, tidak lama kemudian kami sudah berada kira-kira 15 m dari perkemahan itu, seorang anggota regu terkantuk-kantuk menjaga bendera yang diterangi lampu gas, terdengar dengkur di dalam kemah, “Yang tidur 4 orang” bisik Kardi, ini berarti yang 2 orang lagi menjaga entah di mana.”Eh, di dalam ada nasi sebakul dan sayur satu panci besar, bagaimana?”bisik Kardi lagi, “Kita ambil semua” jawabku, satu patok kemah kita bongkar dan Kardi berusaha merogoh nasi dan sayur, ternyata tidak kena sebab tangan Kardi memang terlalu pendek, ganti aku yang merogohnya, panci sayur kena “Eh, sedap sekali, sayur tempe, tahu dan kikil” bisik Kardi. Mendengar itu aku sampai menelan ludah sebab sayur itu juga kesenanganku, sekali lagi aku merogoh kedalam terasa bakul itu agak berat, tiba-tiba terasa ada tali mengikat tanganku aku meronta akan tetapi terlambat “Di...!! cepat lari” pekikku. Aku mencoba bangkit akan tetapi terasa kaki dan leherku ditekan dengan tongkat bercabang dengan kuatnya. Dan tiba-tiba lampu senter 3 baterai menerangi mukaku sehingga aku gelagapan dibuatnya. ”Kena kau kini!” terdengar kata Jeki bengis, tidak lama kemudian acara penyiksaan dimulai.

 

 

 

PENYIKSAAN DI KEMAH LAWAN

“Kamu kini adalah tawanan kami, kamu mengerti hukum Sluipen” terdengar tegas suara Jeki, sepatu dan duk dilepas, mataku ditutup dengan kain hitam lalu ditambah lagi dukku sendiri, tangan diikat dengan rantai 30 cm demikian pula kedua kakiku setelah itu leherku diikat dengan rantai anjing dan digembok pada suatu patok utama dan lebih sadis lagi mulutku diplester.
“Kami baru saja makan malam dan belum sempat mencuci piring, kini tolong kamu mencucinya” katanya terasa tanganku dibimbing ketempat cucian. Yah sebagai tawanan aku menurut saja, satu persatu piring dan beberapa alat dapur kucuci. Setelah itu “Ini tolong sepatu  kami belum disemir”. Terasa tanganku dibimbing lagi ke suatu tempat, satu persatu sepatu aku semir. Tanganku mulai terasa pegal. Belum sampai selesai tersdengar bisik bisik sambil cekikikan agar aku disuruh memijat. “Oh, sialan mereka” pikirku biar nanti kuremas seluruh tubuhnya pikiranku mulai jahat. Aku dibimbing lagi ke suatu tempat, sudah siap seorang anggota pramuka tidur tengkurap dan ditutup oleh selimut tebal. “Ayo mulai” terdengar perintah Jeki dengan ketusnya. Aku mulai memijatnya dengan hati berdebar debar. “Oh, alangkah indahnya umpama mataku tidak ditutup” pikirku. Tiba-tiba pikiran nakalku mulai timbul. Pada saat memijat pantat akan aku colak colek, ternyata belum sampai menyentuhnya terasa tanganku dipukul dengan tongkat kecil. “Awas kalau menyentuhnya, aku potong tanganmu” terdengar kata Jeki dengan bengis. “Sialan” pikirku. Setelah dapat dua anak aku berhenti kepayahan disuruhpun aku tetap diam. “Mengapa kau diam” kata Jeki. Aku menunjuk ke mulutku berkali kali terus plester dilepas. “Apa maumu” desisnya. “Aku payah dan lapar” jawabku. Tidak lama kemudian terasa tanganku disodori piring, segera aku tangkap. “Maaf ini nasi tanpa lauk, sebab sayurnya sudah kau curi, ayo cepat makan” perintahnya. Aku mulai makan, terasa ada barang keras seperti kerikil ternyata adalah garam. Sialan pikirku nasi campur garam disuruh makan, akan tetapi karena memang lapar maka semua aku habiskan. ” Kalau makan seperti babi ya” terdengar bisik bisik. “Oh, kurang ajar mereka, awas nanti kalau aku sudah lepas” pikirku. Setelah itu tugas memijit mulai lagi. Mereka saling gojlok dan tertawa cekikikan sudah tidak perlu kutanggapi agar aku tidak marah sendiri. Akhirnya pada orang terakhir aku sudah tidak kuat lagi. Aku langsung tidur. Terdengar suara Jeki marah marah sebab dia belum mendapatkan bagian. Terasa punggungku dipukul dengan tongkat, eh, ternyata malah aku merasakan enak bagai dipijat sebab pukulannya tepat pada bagian punggungku yang penat dan payah. Aku tertidur dengan pulas.
            Dini hari aku terbangun, kaki dan tanganku ternyata diikat jadi satu, jadi tidurku melengkung seperti trenggiling akan tetapi ternyata mereka masih berbaik hati, badanku diselimuti dengan selimut tebal, 5 anggota regu masih tidur pulas. Aku ingin buang air “bagaimana ini” pikirku. Hidungku menangkap bau parfum mewangi dan nafas halus terasa sangat dekat di mukaku. “Oh, ini pasti parfum Jeki ” pikirku.Tiba-tiba jantungku berdegub degub dengan kencangnya. “Oh, betapa indahnya, tidur di dekatnya” pikirku. Lagi. Sayang mataku tidak bisa melihatnya, dengan pelan pelan aku menggeser tidurku untuk mencapainya dan aku berhasil menyentuh mukanya dengan kepalaku. Dia terbangun dan langsung marah marah. “Heh kau gila ya” katanya sengit sambil mendorong kepalaku. Aku bergerak gerak terus dan plester mulutku dilepas. “Ada apa heh” hardiknya. “Aku mau buang air” jawabku juga ketus. “Oh, ...!!” pekiknya. Mungkin matanya terbelalak dan segara dibangunkan teman temannya. Mereka bersungut sungut karena masih mengantuk. “Ayo diantar ini tawanan” perintahnya ternyata tidak ada yang mau. Mereka segera rebah dan tertidur lagi. Dia melangkah keluar kemah dan datang lagi sambil bersungut sungut. “Gila, yang jaga juga tidur”. Agak lama dia terdiam rupanya ragu ragu. “Kalau begitu biarlah aku buang air di sini saja” kataku. “Gila kau” desisnya setelah itu terasa ikatan tanganku dilepas dari kakiku. “Ayoh ...kuantar kau ... awas lari ...kubunuh kau” hardiknya... aku tertawa cekikikan. Ditariknya dengan kasar rantai anjing itu dan aku mengikutinya. Setelah agak jauh dari kemah rantai anjing itu diikatnya pada sebuah pohon kecil. “Nanti kalau aku sudah mengatakan oke kau baru boleh buang air ...awas kau” hardiknya. Aku sudah hampir tidak kuat lagi menahan, segera membuka celana dan dia terpekik “Gila kau uh ..uh!!” dia lari menjauh. “Mati Kau ” pikirku. Oh, betapa leganya, setelah habis buang air aku diikat lagi seperti semula tidur diantara bidadari bidadari SMA 5.
            Pagi hari sebelum upacara penyerahan tawanan dmulai aku mendekati Jeki “Jeki aku perlu bicara denganmu ” kataku. Dia memandangku dengan rasa jengkel. “Ada apa lagi”. “Hanya empat mata” kataku lagi. Dia mengernyitkan alis matanya sebentar. “Penting?” jawabnya. “Ya, sangat penting” jawabku. “Masalah apa” tanyanya. “Masalah perlombaan memasang kemah dalam gelap” jawabku. “Mengapa empat mata” tanyanya. “Agar yang lain tidak tahu” jawabku.  Waktu itu kemah hanya hanya ada 3 orang; aku, Jeki dan Dona si Gembur, yang lain masih antri mandi. ”Dona gula kita hampir habis, kita masih 24 jam di sini” kata Jeki pada Dona. “Oke Jeki aku akan membeli gula, apakah kau berani menunggu tawanan brengsek itu? ” kata Dona sambil memelototiku. Aku hanya tersenyum saja. “Ada masalah apa” kata Jeki sambil mendekatiku. “Itu Jeki kami sudah tahu siapa yang mengambil patok dan palu kemah dan juga kami sudah tahu siapa yang menggosok tanda jejak kami” kataku sambil memandang tajam wajahnya. Mata Jeki terbelalak sebentar wajahnya memucat. “Heh siapa mereka” desisnya. “Saya kira tidak perlu dikatakan, tapi yang jelas orang itu masih belum mengerti Dasa Dharma dan itu tindakan yang kurang sportif” kataku pelan pelan. Terlihat muka pucat tadi langsung berubah merah padam. Mata kami saling tatap tegang. “Sudahlah” kataku lagi. “Ternyata itu tidak merugikan kami” kataku sambil senyum simpul. Terlihat matanya kaca kaca dan dia segera masuk kemah. Aku duduk diatas pagar tongkat, hatiku juga menangis termakan kata kataku sendiri. “Aku ini munafik !”  pikirku karena ternyata aku juga tidak sportif. “Kasihan Jeki ” pikirku tapi aku mesti bagaimana tanpa pikir panjang aku berteriak “Hei ...Jeki ..dengar aku? Kau masih punya nasi, aku lapar nih?” kataku memecah kesepian. “Masih ada” jawabnya dengan suara agak parau. Oh, syukurlah dia masih mau bicara. Aku segera masuk ke kemah mengambil nasi. Kulihat matanya masih basah. “Oh, betapa halus hati anak ini” pikirku meski penampilannya terkesan kasar dan brutal akan tetapi hatinya halus mudah terharu. “Jeki dengar aku janganlah terlalu dibawa ke hati ini semua kan cuma main-main ....sekedar latihan ........kalau suatu saat kita menang ...di saat lain kita mesti mau menerima kekalahan ...kita harus belajar menerima kenyataan”. Kulihat dia menundukkan muka sambil memegang buku catatan. Sementara aku makan dengan enaknya meski dengan garam habis perutku memang lapar. Tiba-tiba keempat temannya datang. Dona anak belakang pasar sudah nerocos terus mulutnya. “Jeki ada informasi baru, ayo kamu keluar dulu” desisnya sambil melotot kearahku. Aku segera keluar sambil rengeng rengeng ”Its now or never”nya Elvis. Sengaja aku tidak mendengarkan info Dona sebab paling paling gosip. Tapi terdengar sayup sayup percakapan mereka. “Apa? Dia tukang sulap?” tanya yang satu. “Iya aku tahu sendiri waktu ulang tahun Titi di Bareng Lonceng dia menyumbang sulap” kata yang lain. Terus diam, akan tetapi terasa ada desir ketegangan lewat hatiku. Jelas ini mungkin ada sangkutannya dengan perlombaan. Tiba-tiba terdengar dari loudspeaker bahwa upacara pagi segera dimulai. Jeki dan teman temannya keluar dari kemah mereka  memandangku penuh curiga. Terlihat api kemarahan dalam mata Jeki. Dia memandangku lama lama. “Ada apa Jeki ?” kataku. “Engkau bisa sulap” katanya. “Ya, aku bisa sedikit” jawabku pelan. “Sulap bisa untuk menipu bukan?” katanya lagi. Aku diam saja, aku segera bangkit dan berlarian mengikuti yang lain menuju lapangan upacara. Upacara penyerahan tawanan penuh dengan ketawaan dan kelucuan. Saling mengembalikan barang barang yang dicuri dan personil yang tertangkap. Setelah sarapan pagi diadakan renungan budi pekerti dan doa. Setelah itu perlombaan potong kompas dimulai.

REGU BURUNG HANTU GEMPAR
            Begitu masuk kemah, teman teman mengerumuniku bagaimana bisa tertangkap, kamu disiksa, kamu diapakan dan lain lain. Aku bercerita peristiwa penagkapan itu dibantu Kardi. “Waktu aku mengangkat panci sayur itu mereka sudah siap menangkapku. Aku segera berkelit dan lari. Dua orang mengejarku mereka tidak tahu kalau ada aku dibelakangnya” kata Kardi berapi api. “Ya ini untung kita punya anggota bermata maling” kata  Jing Hun. “Oh,... kamu si gembur pelahap nasi, awas nanti hartamu kubersihkan” kata Kardi marah. Jing Hun hanya cengar cengir kaya babi.
“Terus kamu diapakan, Nibe?” Kata Gwan si Kurus kering tapi paling lihai di matematika. “Aku diperkosa” jawabku. “Hah, apa ..? diperkosa?” kata mereka bersamaan sambil melotot. “Ya aku diperkosa satu persatu” jawabku lagi. “Jadi kau melayani 7 orang” tanya yang lain. “Tidak hanya 6 orang, sebab aku tidak kuat lagi” jawabku. “Masya allah beraninya mereka” kata Karyaman anggota yang paling alim dari Regu Burung Hantu. “Ayo kamu cerita yang lengkap” kata Jing Hun sambil menggoncang goncangkan badanku. “Setelah tertangkap, mata dan mulutku ditutup, tanganku diikat dengan rantai anjing dan digembok di patok utama. Setelah itu aku disuruh mencuci piring kotor. Dan menyemir sepatu mereka semua.  Setelah itu aku disuruh memijit mereka satu persatu”. Aku menarik nafas dulu. “Apa? Kamu memijat mereka? Wah kamu pasti menggerayangi semua bagian tubuhnya” sergah Jin Hun. “Tidak aku hanya memijat bagian tubuh mereka yang paling penting” kataku. “Terus, teruskan ceritamu” sergah yang lain penasaran. “Ya itu orang pertama dan orang yang ke 6 aku masih kuat akan tetapi pada orang yang ke tujuh aku tidak kuat lagi. Aku terus tertidur meski dipukuli” jawabku. Semua terdiam dan “Lho la kapan memperkosa kamu” sergah yang lain. “Tidak yang dimaksud bagian tubuh yang paling penting itu apa?” tanya Karyaman. “Ya itu dari ujung kaki sampai paha” jawabku pelan. “Mengapa kok begitu?” tanya yang lain. “Iya daripada tananku dipotong, sebab waktu memijit sampai paha aku diancam. Awas sampai disitu saja, naik sedikit kupotong tanganmu” jawabku. “Oh, sadis benar mereka” jawab yang lain. “Iya, ya aku mengerti, lalu kapan kamu diperkosanya?” yang lain tanya lagi penasaran. “Kamu ini bagaimana kalau orang mengerjakan apa yang tidak dikehendaki berarti kan diperkosa” jawabku pelan. Diam sebentar , setelah itu mereka berteriak bersamaan “Oo oo gombal kamu!!” jawab mereka serempak. Mereka mengahadiahiku pukulan dikepalaku satu persatu. “O, gombal tiwas aku penasaran” kata Jing Hun sambil berlalu. Setelah itu kami tertawa terbahak bahak serempak. Makan pagi enak sekali sebab aku masih diberi bagian sepertiga hasil curian. Wah sayur tahu tempe dan kikil adalah kesukaanku. “Heh lalu kamu tidur di mana?” tanya Jing Hun sambil mulutnya penuh nasi. “Ya itu, kan aku tidak kuat lagi terus tertidur disitu bersama bidadari bidadari SMA 5 itu” jawabku. “Oh, kamu memang  gombal , sialan , tahu begitu aku yang maju” jawab Jing Hun. ”Oh, kalau kamu yang tertangkap pasti kau dipanggang untuk santap pagi, mereka ganas ganas. Lihat saja bibir mereka merah darah semua” jawabku. “Oh, memang kamu itu gombal” jawab Jing Hun sambil mengisi piringnya yang sudah kosong sementara yang lain belum dapat separuh sambil berkoar, “Oh, kamu harus tahu kalau dirumah aku ini alim, sarapan hanya satu sendok, minum satu gelas, buah apel cuma satu itu sudah cukup sampai sehari penuh” kata Jing Hun sambil mulutnya penuh nasi. “Iya memang benar, sebab sendoknya dari sekop, gelasnya pakai ember dan buahnya satu keranjang” komentar Kardi Tj maka kontan yang lain tertawa terbahak-bahak. Jing Hun hanya melotot sambil mengacungkan tinjunya pada Kardi Tj

ANGGOTA REGU BURUNG HANTU

            Kak Ronny adalah kepala regu. Orangnya sportif, rajin, bijaksana, pemberani dan bertanggung jawab. Dia kuliah di Fak. Kedokteran di Surabaya akan tetapi tidak pernah absen dalam latihan mingguan di Malang. Dialah idola kami. Liem Jing Hun adalah anak pengusaha beras. Dirumahnya di daerah Belakang pasar Malang. Badannya gembur tinggi besar dan makannya 10 kali sehari. Senangnya ayam kalkun panggang, babi panggang dan ikan laut. Dia merupakan tenaga penggempur handal. Sosialisasinya besar hampir separuh anggaran Regu Burung Hantu ditanggungnya. Liem Chiong Gwan lain lagi, badannya tinggi 170 cm tapi kurus kering. Anak-anak menjulukinya Ganjais tapi otaknya luar biasa cerdasnya sehingga kami pandai matematika karena dia. Gwan terkenal tinjunya karena badanya tinggi, kurus licah, gesit seperti bayang-bayang. Karyaman adalah anak dari Jawa Barat pandai dalam bela diri Cimande. Orangnya alim dan sering menasehati kami. Kami panggil Pak Kiai. Sedangkan Kardi adalah anak petani dari daerah Batu. Anaknya kecil pendek hitam punya keahlian melihat dalam gelap seperti maling. Dia sebagai pelacak handal dari regu Burung Hantu. Dia dapat tambahan Tj yang artinya tjibuk / gayung sebab waktu diajak mandi di Swim Bat suatu pemandian selatan stadion Malang, Sebenarnya dia tidak mengerti tapi pura pura mengerti lalu tanya apa perlu membawa tjibuk [gayung] dia mengira Swim Bat itu adalah pancuran seperti di desanya. Maka sejak itu namanya jadi Kardi. Tj. , sedang aku mendapat julukan si langkah seribu sebab aku tahan berlari jauh berjam jam sebab di desa aku biasa menggembala kambing dan sisanya anggota biasa.

PERLOMBAAN CROSS COUNTRY / POTONG KOMPAS.
           
Rupanya kecurigaan regu Asparaga dari SMA 5 terus berkembang sehingga mereka terus berusaha menjatuhkan regu Burung Hantu di segala lini perlombaan. Rute Potong Kompas dimulai dari TMP Malang ke arah utara memotong anak kali Brantas dan berakhir di Masjid Agung Blimbing. Waktu itu (tahun 1962) sepanjang rute masih merupakan ladang dan sawah yang mana sekarang tahun 1990an sudah merupakan perumahan dan pemukiman penduduk. Kami sudah siap untuk itu, maka Kardi Tj dengan Gwan kami kirim duluan untuk mengikuti tanda jejak. Ternyata ada beberapa yang diubah orang, akan tetapi karena kami sudah tahu arah kasarnya maka perubahan jejak itu bisa kami antisipasi. Rupanya regu Asparaga pelakunya. Kami hampir bersamaan sampai akhir rute. Mereka keheranan kami regu Burung Hantu bisa sampai di Pos Akhir.

SOTO INDIAN MENJADI SOTO KAUS KAKI

            Malam hari kami mengadakan api unggun. Untuk konsumsi semua setuju membuat soto Indian. Bahan resep aslinya ialah tulang-tulang kaki bison, karena tidak ada di ganti sekengkel kaki sapi, daging anjing karena tidak ada yang mau diganti daging kambing. Tepung tapioka, jagung muda, ketela / singkong dan bumbu lengkap dan santan kental. Yang memasak regu Puteri yang ada dibantu beberapa regu pria. Soto Indian dimasak dalam tong besar bekas oli yang sudah dibersihkan yang digantung diatas api kayu besar. Tulang tulang sapi atau sekengkel sapi dipotong kecil kecil dengan kapak. Direbus bersama sisiran jagung muda. Setelah sisiran jagung masak, potongan daging kambing bersama tulang tulangnya dimasukkan bersama potongan ketela dan bumbu bumbu lainnya. Setelah matang baru santan kental  dimasukkan. Setelah mendidih sebentar maka Soto Indian sudah siap dihidangkan. Malam itu kami cuma habis 0,5 tong sebab ada beberapa teman tidak mau karena ada yang mengira ada daging anjingnya. Sedangkan sisanya kami panasi dan untuk makan pagi. Pagi itu bagian konsumsi tergopoh gopoh melapor ke panitia ternyata Soto Indian kemasukan sepasang kaos kaki hitam. Diam diam panitia datang untuk memeriksa dan dinyatakan tidak apa apa tetapi bagian konsumsi harus tutup mulut
Pagi itu sarapan Soto Indian dengan lahapnya, tiba-tiba dari anggota regu Kumbang dari SMA Coryesu menanyakan kaos kaki yang dijemur dekat perapian kepada team konsumsi dijawab tidak tahu. Mungkin saja masuk api dan terbakar. Dia kurang percaya lalu dicarinya kesana kemari sehingga menarik yang lain dan membantu mencarikan, karena itu kaos kaki pinjaman. Tidak lama kaus kaki ditemukan di tempat sampah, masih basah oleh kaldu Soto Indian. Maka karuan saja informasi itu menjadi kasak kusuk dan berkembang menjadi informasi serius dan berkembang dengan cepat ke semua peserta di malam api unggun. Tidak lama kemudian semua berteriak teriak gempar sebab sotonya katutan kaos kaki. Tapi kebanyakan tertawa cekikikan habis sudah terlanjur di dalam perut. Maka kejadian itu sebagai lelucon Soto Indian di ganti nama Soto Kaos Kaki. Hal ini sampai beberapa pergantian anggota pramuka tetap menjadi cerita yang menarik.




KEJADIAN DI ALON ALON MALANG

Selama 3 hari aku menyelesaikan tugas gambar bangunan di rumah kos Kardi TJ. kira kira jam 19.00 pekerjaan selesai. Kami mendapat berita bahwa itu adalah hari terakhir Pameran 17 Aguastus 1962 dan biasanya ada obralan alat-alat tulis. Aku dan Kardi bergegas ke alon-alon Malang takut tidak kebagian. Ternyata acara obralan belum selesai. Terlihat para pelajar mengepung stand itu berjejal jejal. Aku dan Kardi segera ikut bergabung. Waktu itu aku membawa gambar yang sudah  aku gulung rapi. Aku bersama mereka menanti pembagian buku-buku dan kertas gambar serta alat alat tulis yang harganya relatif murah. Tidak terasa ujung gulungan gambar itu masuk ke dalam rok seorang gadis dia langsung berteriak-teriak. “Heh siapa ini yang kurang ajar”. Sementara aku belum menyadari kejadian itu karena perhatianku pada barang yang ditawarkan. Tiba-tiba kepalaku dihantam tangan dua kali. Pandanganku berkunang-kunang. Masih belum sempat melihat siapa yang memukulku tiba-tiba terasa dua hantaman meledak di kepalaku. Aku segera mundur sambil mengibas-ngibaskan kepalaku dan ternyata Jeki si Macan Betina dari SMA 5 itu berdiri di mukaku dengan marah besar. “Kamu anak kurang ajar, kubunuh kau” katanya. “Hei Jeki aku tidak sengaja, maaf” jawabku tergagap.
“Ayo kita hajar saja anak ini!” tiba-tiba temannya mengurungku dalam satu arena, tentu saja menarik perhatian yang lain. Sialan pikirku, ini sangat memalukan dan pukulannya bagai tangan laki laki. “Ayo hadapi aku saja!” desis Jeki. Matanya memerah penuh dengan dendam dan kemarahan. “Jangan, ini konyol dan aku sungguh tak sengaja, maaf” jawabku. Gambar bangunan dibukanya dan dirobek robek. Masya allah pekerjaan 3 hari dihancurkannya aku mulai panas dan marah. Teman teman  Jeki terus memanasi “Ayo sikat Jeki kapan lagi, memang dia anak kurang ajar, ayo hajar”. Aku mendengar bahwa dia ahli silat Cimande. Aku tidak takut. Akan tetapi merasa kurang wajar harus berkelahi dengan wanita. Maka aku hanya menghindar sewaktu dia menyerang. Berkelit kekiri, kekanan menghindari tendangan dan pukulan tangannya. Tiba-tiba terasa punggungku dipegang oleh teman Jeki ternyata si Dona yang gembur itu sehingga aku tidak bisa bergerak bebas. Dua pukulan tangannya masih bisa aku tahan dengan doble coverku. Akan tetapi dua ledakan terasa di dadaku oleh tendangan kakinya. Dia menyerang lagi dengan tendangan kaki sambil meloncat dan berputar. Mati aku pikirku. Aku tidak bisa mengelak lagi. Dengan kuat dan sigap aku merunduk, badan Dona yang memegangku dengan kuat terangkat, kontan saja dia yang menjadi sasaran kaki Jeki. Terdengar suara berdebam dan dia roboh. Aku bebas kini, lagi lagi Jeki menyerang dengan tendangan mautnya. Aku mengelak kesamping ternyata itu tipuan. Terasa kibasan tangannya yang berkuku tajam itu meninju mukaku. Aku mengelak dan leher sampai dadaku terkoyak dan bajuku robek besar. Kini aku tidak boleh ragu ragu lagi untuk menghadapinya. Meski dia wanita akan tetapi sangat berbahaya pikirku. Pada kesempatan yang baik aku berhasil menangkap kedua tangannya. Dia meronta dan menendangku tapi berhasil aku tepis dengan kakiku pula. Tak kusangka dia meludahi mukaku habis habisan, segera kedua tangannya kupuntir kebelakang. Kutekan pada punggungnya. Kedua kakinya aku injak sehingga dia tidak bisa bergerak lagi. Tiba-tiba dalam situasi itu lampu listrik padam. Mungkin dari pusat. Sebentar menyala lalu padam lagi. Keadaan menjadi gelap gulita mendadak sifat nakalku timbul. Aku sudah dipukulnya habis-habisan kini aku harus minta ganti rugi. Muka kami terlalu dekat sehingga dengus nafasnya terasa dimukaku. Bau harum parfumnya mendorong hatiku untuk berbuat. Aku cium dia. Dia mengelak sehingga bibirku menangkap telinganya. Terus saja kulumat habis telinga dan sisi lehernya dia bergidik dan mengeluh kegelian dan terus meronta sejadi jadinya. Akan tetapi pelukanku kupererat. Sungguh waktu aku dikuasai setan. Kesempatan itu sungguh aku nikmati meski dengan hati yang tidak karuan rasanya. Dan beberapa saat kemudian tiba-tiba dia meronta keras terus melemah bagaikan lumpuh. Terasa detak detak jantung berdentam dentam didadaku. Dalam kesempatan ini kulumat habis bibir dan mukanya. Tiba-tiba lampu menyala lagi. Aku terkejut juga teman teman Jeki yang mengurung juga terkejut dan berteriak. Segera kulepas dia dan aku lari terbirit birit di antara kerumunan orang banyak. Aku segera pulang dengan rasa malu, takut, marah dan penasaran.

 

PERKELAHIAN DI LAPANGAN LAMBAU MALANG

Dua minggu setelah kejadian itu aku pulang dari latihan dihadang di suatu tikungan oleh Jeki cs. Mereka berempat, sementara kami berenam sebab Kak Ronny pulang duluan. Juru bicara mereka adalah Dona si gembur. Singkatnya mereka tidak terima kejadian pelecehan di alon alon. Mereka menuntut langsung tanggung jawab atas kejadian itu. Kami minta waktu sebab kawan kawan kami tidak mengerti masalah itu. Waktu itu yang ada adalah Gwan, Jing Hun, Karyaman. Kardi Tj., Corules, Banjar dan aku sendiri. “Ada masalah apa?” tanya Jing Hun dengan penuh tanda tanya. Terpaksa secara singkat kuceritakan kejadian di alon alon. Kontan saja teman teman tertawa terbahak bahak yang rupanya membuat kubu Jeki tegang dan marah. Kardi Tj. menambahkan “waktu itu setelah Nibe dikurung oleh kelompok Jeki, aku lari mencari bantuan. Sebab kelihatannya Nibe tidak mampu melawan” kata Kardi Tj berapi-api. “Akan tetapi belum berhasil, tiba-tiba lampu PLN mati. Aku segera balik ke alon alon ternyata Nibe sudah tidak ada” katanya lagi. “Jadi kau berhasil mem... “ kata Jing Hun tidak jadi karena dipelototi Dona dari jarak jauh. “Iya ..... habis itu terjadi sungguh sungguh aku tidak sengaja. Aku terus dipukuli, diludahi dan gambarku dirobek robek. Itu kan sudah impas” jawabku sambil melihat kubu Jeki. “Mereka minta tanggung jawab, tanggung jawab apaan” kataku lagi. Akhirnya Jing Hun Gwan dan Karyaman datang ke kubu Jeki untuk berunding baik-baik. Tapi kubu Jeki tetap tidak mau menerima. Mereka bertiga datang dengan muka keruh. Rupanya mereka memang membuat kejadian ini menjadi alasan untuk menghajarmu. Tidak lama kemudian, Dona datang mengatakan tuntutan mereka adalah Nibe harus minta maaf di muka umum dan mengganti kerugian berupa sejumlah uang. Kalau tidak Nibe harus berani sekali lagi berkelahi melawan Jeki.
“Bagaimana engkau Nibe?” tanya Gwan sebal. "Aku  siap-siap saja, akan tetapi hanya kurang enak harus melawan gadis. Katakan pada mereka ganti saja kakaknya atau pacarnya aku lebih senang” jawabku. Dan dijawab “itu adalah permasalahan pribadi maka tidak etis diganti orang lain”. “Sudahlah terima saja Nibe, tantangannya” kata Jing Hun. Akhirnya sore itu kami sungguh berhadapan di Lapangan Lambau. Kubu Jeki terdiri 4 orang dan kubu kami juga 4 orang. Sebelum perkelahian Karyaman mendekati. “Wah engkau ini payah, tinju belum pandai, silat Cimande baru belajar maka kamu harus hati-hati. Untung double covermu baik dan tubuhmu kuat. Awas jangan sampai lehermu kena tendang. Sampai kau lengah maka kau harus dikubur hari ini” katanya serius. Aku hanya diam saja. Tidak mungkin dia menantang kalau tidak punya ilmu yang diandalkan katanya sambil menepuk bahuku. Memang di alon alon itu sudah kurasakan pukulan dan tendangannya. Orangnya kecil tapi pukulan dan tendangannya bagai orang dewasa ya aku harus hati-hati pikirku.
Pada ronde pertama aku dihajar dengan dua pukulan di kepala dan dua tendangan di dada. Payah juga aku meladeninya sebab banyak pukulan tipuan, sehingga aku terkecoh. Ronde kedua aku lebih payah lagi, empat pukulan di kepala dan empat lagi di dada. Rupanya dia telah tahu kelemahanku. Ronde ke tiga aku jatuh di tanah segera Karyaman mengambil time out. “Satu ronde lagi kalau caramu seperti itu kau pasti harus dikubur hari ini. Kulihat kau ini ragu ragu, dia adalah musuhmu. Harus kau hancurkan, mengerti? Aku masih merasakan sakitnya kepala dan dadaku. “Aku mesti harus bagaimana?” jawabku sambil bernafas tersengal sengal. “Kulihat kelemahannya di kaki sebelah kiri. Buat dia lengah dan lemah langkah seribu digunakan” kata Karyaman serius.
Kini hatiku lebih mantap ya meski dia seorang gadis tapi sangat berbahaya, maka aku harus hati-hati dan harus melihatnya sebagai musuh yang harus kuhancurkan pikirku. Aku mulai mendekatinya dan bila dia mendekat aku menjauh sambil meledeknya agar dia marah. Kami berkejaran di lapangan rumput yang menghijau, dia cepat tertinggal dan aku menantinya setelah dekat aku lari lagi. Rupanya dia mulai kesal. “Hei, kalau berani jangan lari. Ayo hadapi aku monyet” serunya. Aku berhenti sambil bergaya seperti monyet menggaruk garuk setelah dia dekataku lari lagi. “Hai rupanya kau itu betina tidak berani, ayo lawan aku, babi”. Aku berhenti lagi dan menggaruk garuk tanah sambil ngrak ngrok seperti babi. Setelah dia dekat aku lari lagi. Memang aku kuat lari berjam-jam sebab itu sudah biasa kulakukan di desa sewaktu menggembala kambing. Kini kulihat dia bernafas tersengal sengal terus mulutnya menyemburkan sumpah serapah. Ya lengkaplah sudah nama nama di kebun binatang di sebutkannya untukku. Akhirnya dia tidak kuat lagi berlari. Duduk di tanah sambil memandangku dengan perasaan benci tak ketulungan. Aku hanya senyum senyum saja sambil memandangi dan mengagumi kecantikannya. Tidak kusangka kemenanganku atasnya hampir aku harapkan ada perhatian padaku ternyata malah menjadi musuh.
Kulihat kira kira dua tombak dari tempat dia duduk terlihat ada tonggak kayu kelampis selengan besarnya. Tiba-tiba aku mendapat ide, apabila aku berhasil mencapainya dengan tangan dan aku ayunkan badanku maka aku akan bisa memukulkan kakiku pada kaki kirinya dan selanjutnya aku bisa menggulungnya dengan gulat. Aku segera bangkit kembali. Dia pun segera bangkit dan siap-siap. Aku segera berlari kearahnya dengan cepat seakan akan aku menyerangnya. Tepat waktu dia membabatkan tendangan mautnya kearah kepalaku aku merobohkan diri dan menangkap tonggak kelampis itu. Badanku kuayun dengan keras sehingga merupakan baling baling. Tepat kaki kirinya menginjak tanah. Kakiku membabatnya dengan keras. Terdengar suara keretakan tulang beradu tulang. Dia jatuh berguling-guling dan menjerit kesakitan. Kena kau pikirku. Dengan sigap aku menubruknya akan tetapi terasa kakinya yang sehat meledak di perutku dan dua pukulan meledak di kepalaku tidak kurasakan lagi. Kami bergulung-gulung diatas rumput akhirnya dia bisa kutindih, kedua kakinya kukunci dan kedua tangannya yang berbahaya itu kutekan keras di tanah. Dia berusaha meronta mata dan bibirnya tertutup rapat. Terasa seluruh tubuhnya bagai kejang dan keras, ya dia belum terkalahkan. Akhirnya dia berhenti bergerak. Matanya terbuka menakutkan. “Kau jahat, licik, tak punya malu, awas kau aku bunuh” desisnya dengan pedas. Aku hanya diam dan tersenyum saja. Teman temannya setelah tahu Jeki kalah mereka mendatanginya untuk menolongnya. Segera teman temanku datang pula untuk menolongku sehingga mereka saling berkejaran dengan suara gaduh. “Jeki ...dengar aku...mengapa engkau selalu...membenciku ... mengapa? Sedang aku selalu baik padamu” kataku sambil memandangnya dekat-dekat, dia diam saja.
“Dengar Jeki... sejak kita berkenalan ... aku selalu mengingatmu ...mengagumimu ... aku sungguh tidak sengaja di alon-alon itu... dan aku sudah minta maaf padamu ... tidak mungkin Jeki aku berbuat itu padamu dengan sengaja ... sungguh Jeki aku minta maaf”. Dia tetap tidak menjawab, akan tetapi terlihat bibirnya sudah mulai merekah menahan senyum, badannya bergetaran setelah beberapa saat. “Sudahlah ... Jeki... kalau memang engkau mau membunuhku ... sekarang bunuhlah aku ... kalau itu menyenangkanmu” kataku lagi, pelan-pelan kulepas dia dan aku tidur di sampingnya sambil kupejamkan mataku, beberapa saat tidak terjadi apa-apa tiba-tiba dia berkata,” Nibe ... Nibe ... tolong aku ... mungkin kakiku patah” aku terkesiap dan sungguh-sungguh kuatir, segera bangkit dan melihatnya dekat-dekat. Jeki diam saja sambil memejamkan matanya menahan sakit, dalam remang-remang itu kuperiksa dengan cermat keadaan kakinya, kuukur dan kubandingkan keadaan kaki kanan dan kirinya ternyata tidak patah, aku yakin itu dan rasa was-wasku hilang, akan tetapi memang dalam keadaan memar berat kelihatan bengkak besar menonjol terbungkus dalam celana hitamnya yang ketat “ Tidak patah Jeki hanya bengkak berat, ayo bangkit” aku sudah melupakan permusuhan itu, kupapah dia untuk bangkit dan berdiri, kulihat wajahnya pucat pasi menahan sakit. “Sakit Nibe ... sakit sekali” bisiknya, “Maafkan aku Jeki, aku mencederaimu seperti ini ... maaf” aku juga berbisik padanya, merasakan ketulusanku Jeki memandangiku denga rasa iba, terlihat air matanya menggenang “Sudah ... kini ... bunuh aku” bisikku. “Tidak .. tidak Nibe .. aku yang salah” katanya parau. Dan tiba-tiba dia merangkulku erat-erat dan menghujani wajahku dengan ciuman dan deraian air matanya. Aku terkesiap dengan keadaan yang sama sekali tak terduga itu. Kami berciuman dengan mesra sesaat akan tetapi terasa di awan-awan. Dan tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan histeris kawan kawan Jeki menyadarkanku. “Sialan kau aku berjuang mati matian malah engkau ... huuuu... gombal gombal !!!” teriak Dona dengan suara sadisnya. Kami dikerumuni teman teman Jeki maupun temanku. Badan Jeki tetap kupeluk. “Sudah ... sudah tidak ada permusuhan lagi” katanya.  “Kita berteman” kusambung. Kulihat mata Jing Hun memelototiku. “Kurang ajar kau, orang secantik itu kau peluk” katanya. Karyaman menunjukkan jempolnya padaku. “Kau hebat, seharusnya kau mati sore ini” katanya sambil mengerling pada Jeki. Sementara Jeki hanya tersenyum. Gwan hanya geleng geleng kepala. “Aku cemas sekali, ternyata kau mampu mengalahkannya” katanya sambil menyalamiku terus hormat Pramuka pada Jeki. Jeki hanya senyum. “Tolong Gwan sepeda Jeki” kataku. Dia mengangguk. Sementara Kardi Tj masih duduk di rumput sambil memandangi kami berdua. “Jeki asal kau tahu Nibe sudah lama mengincarmu” katanya sambil memainkan rumput diantara giginya yang putih bersih. “Oh, iya?” kata Jeki. “Apanya yang diincar?” katanya lagi. “Ya seluruhnya” jawab kardi. “Oh, kamu nakal!” kata Jeki sambil tersenyum. Alangkah indahnya persahabatan itu pikirku. Ternyata Jeki tidak bisa berjalan sendiri. Terpaksa kupapah sementara yang lain mengambil sepeda di SMP Putri Panderman. “Sakit Nibe sakit sekali” bisiknya. Agar lebih  cepat maka kuangkat tubuhnya. Dia diam saja. Dalam kelam itu kurasakan kehangatan tubuhnya detak detak jantungnya terasa indah di dadaku. Dan keharuman rambutnya menghanyutkan. Ohh betapa indahnya moment ini. “Jeki di mana rumahmu” tanyaku. “Di sana di perumahan SKI Rampal” jawabnya. “Oh, ternyata rumah kita berdekatan” kataku. “Oh, di mana rumahmu?” tanya Jeki. “Di sana, dekat pasar Bunul” jawabku. “Oh, iya?” katanya sambil memandangku lekat lekat. “Kalau begitu harus kau antar aku” jawab Jeki mulai manja. Oh, betapa indahnya mengantar orang secantik ini pikirku. Kalau di sana berarti ayahnya seorang perwira ABRI. Seingatku itu perumahan perwira ABRI. Wah jangan jangan orangnya dan aku langsung ditembaknya pikirku. Rupanya Jeki merasakan pikiranku. “Ayahku seorang jentle, tapi tegas dan baik hati meski kelihatannya bengis” katanya. “Jeki nanti ayahmu apa tidak marah mengetahui ini” kataku. “Tidak aku sudah biasa dalam latihan cedera dan terkadang lebih berat dari ini, ayah tidak marah” jawabnya. “Dan engkau sendiri bagaimana? Kepalamu, dadamu, perutmu“ kata Jeki sambil memandangku dengan rasa kuatir. Aku diam saja. “Eh, kau Nibe, kok diam saja“ katanya lagi sambil meraba mukaku. “Eh, aku sejak aku kehujanan ciuman itu seluruh rasa sakitku hilang lenyap“ kataku sambil tertawa. “Eh, kau jahat kau jahat” katanya manja. “Biar aku gigit kau biar” katanya langsung saja digigitnya dadaku. “Ohh, Jeki... sakit.... kau ini bagaimana, nanti bisa tidak bisa berfungsi” kataku kesakitan. “Tidak berfungsi bagaimana?” kata Jeki. “Habis hatinya kan sudah kau ambil” kataku sambil tertawa. “Sialan, jahat kau, kapan aku mengambil hatimu” katanya sambil memukul mukul dadaku. “Ya sejak perkenalan itu” jawabku. “Ohh kamu memang penggoda .. hatiku kan juga kau curi saat itu” katanya sambil memandangiku lama lama. “Oh, makanya kau selalu marah marah” kataku. Tidak lama kemudian kami sampai di jalan. Gwan dan Titi menanti. “Ini sepedanya” katanya. “Aku mengantar Titi”. Ya, rumah Titi juga di belakang pasar. Mungkin dekat dengan rumah Gwan. Tidak lama Jing Hun naik sepeda dengan cepat dia membonceng Dona  sama-sama gemburnya. “Minggir.... minggir..... minggir.... awas kau” bentaknya sambil mulutnya meringis. Tidak lama Kardi Tj digonceng Mirna yang badannya jauh lebih besar, kelihatan seperti adiknya. Tempat kost Kardi Tj di Bareng Lonceng dekat rumah Mirna. Aku dan Jeki tertawa lega. Tadi mereka saling pukul kini saling boncengan untuk pulang ke rumah masing masing.
Sampai di rumah ibu Jeki tergopoh gopoh menjemputnya “kena apa lagi Jeki?”. ”Jatuh di latihan, ibu” jawabnya. Kini dia sudah bisa jalan sedikit sedikit. Setelah kududukan di kursi dan mengompres kakinya dengan Revanol aku pamitan pulang. “Sepedanya kau bawa Nibe, besok pagi kau ke sini” katanya. Sejak itu persahabatnku dengan  Jeki menjadi erat. Beberapa bulan selanjutnya dia pindah sekolah di SMA Tionghwa sebelah selatan terminal lama Malang, sebab Jeki sering jadi sasaran ketawaan teman temannya sehingga sering terjadi perkelahian. “Mereka itu osed osed menyebalkan, tidak mau maju komentarnya berapi api”. “Ya,... ya kau benar, mereka belum maju” kataku menenangkan.

 

BIDADARI  ITU DATANG KE RUMAHKU

Berkali kali Jeki menanyakan tempat tinggalku. Selalu aku tolak sebab aku malu dengan kenyataan diriku. Sampai aku marah dan tidak kerumahnya hampir dua minggu. Sungguh aku tersiksa sendiri dengan tindakan seperti anak kecil itu. Betapa aku sangat ingin mengunjunginya, akan tetapi kutahan. Pulang sekolah seperti biasa aku menjalankan tugas harian di Pasar Besar Malang. Aku melayani sebuah  toko grosir bahan makan dan kelontong untuk menjadi kuli bersama kardi Tj. “Lha, ini ada pekerjaan Nibe, angkat ke Jeep hijau di jalan sebelah kios no. 76” kata Bu Darmo pemilik toko itu. Dengan cepat dan hati-hati barang barang kelontong itu aku angkut dengan gelinding angkat bersama kardi Tj. Seorang ABRI berpangkat kopral menunggu kendaraan tersebut. “Ini kiriman dari Bu Darmo, Pak” kataku. Dengan sigap dia bangkit menerima barang barang dan menyusunnya ke dalam jeep. Setelah selesai aku menunggu pemiliknya. Sementara Karji Tj. mengambil kekurangannya. Tidak lama kemudian seorang ibu datang memeriksa. Aku terkejut bukan main, dia ibu Jeki. Segera kepalaku kumasukkan dalam-dalam pada topi kain kumal yang biasa aku pakai. Semoga beliau tidak tahu aku. Ternyata dia juga terkejut melihatku. Dibukanya kaca mata hitamnya. Aku diam saja seperti menanti putusan hakim. “Nibe mengapa kau bersembunyi, ini ibu” katanya. “Mengapa kau tidak main ke rumah lagi?” katanya lagi. Aku diam saja. Tidak lama kemudian “kesini sebentar ibu mau bicara padamu” katanya lagi. Tanganku ditariknya ke dalam rumah makan cina yang terdekat. Aku tidak menolak sebab ibu Jeki sudah seperti ibuku sendiri. Kami duduk di pojok ruang makan itu. Aku hanya menunduk diam. “Ayo buka topimu” katanya lagi. Aku diam saja. Beliau bangkit dan dibukanya topi kumalku, dikebas dan dibersihkan topi itu dengan tangannya yang putih halus. Masya allah, topi itu bau dan kotor. Beliau mau mengelus elusnya. Dipandanginya aku lama lama dengan rasa hiba. “Nibe bicaralah, ibu mendengarkanmu” katanya lagi sambil mengelus kepalaku. Aku masih diam saja duduk terpekur malu sudah tidak ada yang lain. “Kita makan ya Nibe” kata ibu Jeki lagi. “Oh, tidak bu Nibe sudah makan” jawabku tergagap. “Ya, ya, begitu baik” kata ibu Jeki lagi penuh perhatian. “Inilah keadan Nibe, Bu, sudah selamat tinggal” kataku sambil tegak dan melangkah. “Tidak, Nibe, ibu belum bicara” kata beliau sambil memegang tanganku erat. “Dengarlah Nibe, dalam pergaulan, kami tidak memandang harta dan kekayaan, akan tetapi hati” kata beliau terus menarik nafas panjang. “Kini Jeki sangat susah, dia sering menangis, datang dari sekolah mara-marah  katanya dimarahi gurunya, katanya bertengkar dengan temannya terus masuk kamar menangis. Tidak biasanya dia begitu. Datanglah Nibe, kasihan Jeki” kata beliau terus menarik nafas panjang. Sementara aku pun merasa kasihan sebab hatikupun juga menangis dengan keadaan itu. Tidak lama kemudian terasa beliau memasukkan segumpal uang keadalam kantongku. Aku terlonjak. “Ibu ini tidak perlu, ibu” kataku sambil mengejarnya sampai di Jeep. “Sudahlah Nibe kau bekerja, kau butuh itu” kata beliau. “Kau harus baikan dengan Jeki” katanya lagi sambil tersenyum. Motor jeep itu bergerak cepat meninggalkan aku. Tidak lama kemudian Kardi Tj. datang sambil membawa satu kardus besar. “Eh, ini barang nyonya tadi, ini bagaimana?” kata Kardi Tj. “Ya biarlah, aku antarkan. Aku tahu rumahnya kok” kataku. Setelah itu uang aku keluarkan dari kantong. “Sana, kau hitung Di,” kataku. Mata Kardi Tj. terbelalak. “Ndak salah ini” katanya. “Lima puluh ribu” kata Kardi Tj. sambil terbelalak. “Sudah kita ambil lima ribu saja, yang lain kita kembalikan” katanya lagi. Setelah itu aku pinjam sepeda Bu Darmo untuk mengantar barang Ibu Jeki. Sampai di sana kulihat Jeki di teras depan duduk di kursi beton sambil memetik gitar. Terlihat  matanya sembab. Aku terhenti agak ragu. Terdengar lagu favorit saat itu, I start a joke-nya Be Gees. Jeki menyanyi dengan suara penuh perasaan. Ia segera sadar akan kehadiranku. Dia bangkit dan terus mendatangiku. “Nibe,  maafkan Jeki” katanya. Bergetar tangan kami bersalaman. Aku tidak berani melihat mukanya. Aku hanya mengangguk. “Jeki, barang ibumu tertinggal kataku sambil mengangkat kardus itu. Dan ini uang ibumu terjatuh. Sudah ya?” kataku cepat. Terus berlalu. “Sebentar kita mesti bicara” katanya. Langsung saja sepeda dikuncinya dan diambil sekalian kuncinya dan dia bergegas  ke teras. “Ayo Nibe, kesini!” katanya lagi. Aku  tegak diam dekat sepeda. “Ayo Nibe ... kok gitu  ... katamu kita ini telah dewasa, kedewasaan seseorang terlihat dari tindakannya bukankah itu kata katamu sendiri?” kata Jeki sambil tersenyum. Sialan anak ini pikirku. Hatiku tersentuh. Aku segera melangkah mendekatinya. “Ya ... ini baru dewasa” kata Jeki lagi dengan senyumnya. Sungguh aku kini seperti tawanan di muka Jeki. “Angkat, itu topi kerjamu” katanya lagi. Aku diam saja. Dia bangkit, segera topi kumal dan bau dibukanya. “Lihat aku Nibe! jangan terus menunduk” kata Jeki lagi. “Aku sebenarnya sudah tahu di mana rumahmu, akan tetapi kalau memang tidak boleh kesana, ya ... sudahlah aku mengalah. Tapi mulai besok kau main kesini” katanya. “Apa kau sudah tahu rumahku?” tiba-tiba saja aku bisa bicara dengan lancar. “Iya aku punya banyak cara” cetusnya dengan senyumnya yang menawan itu. Akan tetapi ternyata itu hanya tipuan Jeki. Rupanya dia tidak kurang akal. Didekatinya Kardi Tj. sedangkan Kardi Tj. kuberitahu jangan sampai Jeki tahu tempat tinggalku. Ternyata malahan diantarnya sampai di rumah. Sore itu kulihat di halaman ada sepeda Jeki warna abu abu metalik. Aku terkejut bukan main. Ini sepeda Jeki pikirku. Ternyata benar. Kardi Tj. duduk dekat pohon waru. Melihatku dengan ketakutan. Aku mendekatinya dengan marah. “Maafkan Nibe aku tidak tahan dengan cara Jeki katanya dia sudah tahu rumahmu .... rupanya dia memang ingin tahu siapa sebenarnya engkau.....  maka lebih baik kuantar sekalian” kata Kardi Tj. sambil duduk di tanah. Aku sungguh marah padanya. Aku sungguh menyesal dengan kenyataan itu. Akan tetapi aku sungguh sayang sama Kardi Tj. dia satu satunya teman yang mengerti keadaanku yang sebenarnya. Tidak lama kemudian hatiku sudah reda. “Sudahlah, aku justru berterima kasih padamu” kataku sambil menarik tangannya untuk tegak. Di mana dia sekarang?” tanyaku. “Itu di dalam dan aku terus berangkat, Nibe” jawabnya. “Hei, Di, sebentar kataku tapi dalam sekejap dia sudah lenyap. Ya aku mengerti dia. Di dalam rumah kulihat Jeki dengan gaya khasnya petetang peteteng meneliti setiap jengkal kamarku yang kotor itu. Badannya yang putih sintal dibungkus T shirt cream kuning dan pinggul dan kakinya yang indah itu dibungkus celana ketat Jean biru. Habis sudah harapanku untuk menjadi temannya pikirku. Inilah kenyataanku sebenarnya. Orang miskin dan terbuang. Rumah ini adalah rumah pamanku yang tugas di kota lain dan aku hanyalah penjaganya. “Sore Jeki” kataku tersendat. Aku takut mengusik ketenangannya dalam mengawasi daftar kerja harianku. Tidak ada jawaban. Aku harus tabah pikirku. Kalau dia tiba-tiba lari dari rumah ini sambil berteriak teriak bahwa aku adalah orang miskin, orang jahat, orang hina dan lain lain. Aku harus menerimanya. Atau kalau dia tahu siapa aku sebenarnya, aku menipunya aku memujanya akau mencintainya, oh, betapa memalukan. Mengapa dia diam saja mematung menatap daftar tugas harianku. Sungguh aku takut menghadapi kenyataan ini. Oh, Jeki segeralah engkau pergi dan jangan memandangku lagi. Sungguh aku tidak layak padamu maafkan aku. Akan tetapi kataku hanyalah sampai di otakku. Aku tegang luar biasa bagai menanti putusan hukuman mati. Sampai akhirnya terdengar isakan tangisnya. Tiba-tiba dia berbalik menubrukku dengan pelukan dan tangisnya yang panjang. dan menghiba hiba. Tidak biasanya dia menangis seperti itu. Dia kukenal gadis yang tegar dan optimis dalam memandang hidup ini. Mengapa hari ini dia secengeng ini pikirku. Aku sudah rela apabila persahabatan ini putus dan aku harus hidup seperti biasanya ialah kerja keras. Kerja keras dan kerja keras untuk sekedar bisa sekolah. Demi masa depan yang sungguh belum menentu. “Aku .... aku bangga kau, Nibe” akhirnya dia berkata dengan berat dan suara parau. “Aku hanya mampu meminta dan mengemis, kau mampu mengatasi segalanya, aku bangga” bisiknya sambil menghabiskan air matanya di dadaku. Aku diam saja biarlah dia mengeluarkan perasaannya. Biarlah kelegaan tercipta di hatinya. “Engkau kini tahu siapa aku sebenarnya, dan kini persahabatan kita berakhir, aku tidak layak denganmu, Jeki” bisikku. “Tidak ... tidak,... Nibe,... tidak!” dia menangis lagi. Aku bingung dibuatnya. “Jangan... Nibe, ... jangan...” tangisnya lagi. Aku terpaksa diam, biarlah hatinya tenang. Aku papah dia ke kursi yang aku buat dari ban bekas. Kuambil segelas air putih dan segera disambutnya dan dihabiskan. Anak ini seperti tidak mikir apa apa, tidak takut kalau ditipu dan lain lain, atau dia sangat percaya padaku. Sementara aku berdiri mematung di dekatnya. Sungguh aku pandang Jeki terlihat agung dan menakutkan. Apa maunya anak ini pikirku. “Sudahlah tenang, Jeki, ayo aku antar pulang” bisikku. Rupanya dia sudah mendapatkan dirinya lagi. “Aku sungguh terkejut, Nibe, dengan kenyataan ini” katanya termenung lagi. Air matanya meleleh lagi. “Apa yang mengejutkanmu” kataku. Dia diam sebentar seperti mengingat ingat seesuatu. “Keadaan dan segala yang terjadi, mirip di masa kecilku. Aku ingat Kapten bekerja keras siang dan malam untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Di Jakarta semua mahal dan Kapten cuma prajurit biasa” katanya lagi. “Nanti aku ceritakan” katanya sambil menghapus air matanya yang rupanya terus mengalir meski tidak sederas yang tadi. “Maaf Jeki, ini waktunya aku harus berangkat kerja, ayo kuantar pulang” kataku pelan pelan. “Aku tahu, aku ikut” katanya sambil bangkit. Aku terlonjak. “Ya allah, anak ini. Jangan Jeki ini tugas berbahaya” kataku memohon. “Pokoknya aku ikut.... Nibe” katanya. Aku terpaksa menuruti kemauannya. Kami berboncengan naik sepeda jengki metalik abu abu.
Tiba di RSU Malang aku sekali lagi memohonnya untuk pulang. Ternyata dia tidak bergeming. Mata Kardi Tj. terbelalak melihat aku hadir bersama  Jeki . “Inilah sebagian dari kerjaku ialah menunggu orang sakit bergantian dengan Kardi Tj ”.”Aku senang, Nibe. Kau tahu aku senang hidup yang penuh tantangan seperti kata Kapten (julukan ayah Jeki ). Hadapi hidup ini dengan segala konsekuensinya. Jangan lari, sebab suatu saat kau akan bertemu dengannya lagi. Maka hadapilah” katanya berapi api. “Yakinlah Nibe, saat ini adalah permulaan. Aku mengenalmu” katanya sambil memegang erat tanganku. Aku menghela nafas lega. Rupanya dia tidak meninggalkanku. Aku sudah hampir putus asa. “Ini, ah apa adikmu Nibe?” tiba-tiba Pak Galooh berbicara dari dalam kamarnya. “Iya, Pak, ini adik saya” jawabku. “Mengapa diajak kemari?” katanya lagi. “Dia anak nakal, Pak .. kalau tidak diajak marah marah”. Terasa tangan Jeki meremas tanganku. “Aku mesti omong apa sama beliau” kataku sambil mengangguk. “Aku telpon ibu dulu” dia bangkit dan menghilang di kantor RSU Malang. Sebentar dia datang. Aku memandangnya penuh tanda tanya. “Aku bilang sama ibu, menemanimu dinas malam di RSU, nanti jam 24.00 ibu dan Kapten menjemputku. Aku terlonjak, dia paham akan pikiranku. “Jangan takut, jangan cemas. Nanti kita bicara panjang” katanya.

JEKI BERCERITA TENTANG KELUARGANYA


“Waktu itu aku  masih kecil anak satu satunya. Kapten masih prajurit. Hidup kami pas pasaan. Habis  gaji Kapten kecil. Sehingga ibu harus berhemat dan kerja sambilan membuka kios kecil dan memelihara ayam kampung. Kapten mencari sisa sisa makanan di markas dan warung warung. Karena halaman komplek perumahan prajurit cukup luas. Sementara aku hanya membantu ibu dan sekolah. Kehidupan di Jakarta itu keras. Maka aku terbiasa hidup keras juga. Anak laki laki atau perempuan sama saja, harus berani menantang apapun itulah kami dan aku. Kapten adalah pekerja keras, pemberani, jujur dan pintar. Itulah yang merubah hidup kami. Kapten menjadi kepercayaan komandannya. Dia penembak tepat, dia pegulat tangguh, dia petinju handal di satuannya. Secara otomatis kepercayaan itu berharga mahal. Dan akhirnya kami mendapat fasilitas yang memadai. Sesuai nilai kepercayaan itu. Ibu sadar bahawa sesuatu bisa berubah. Makanya di saat panen ibu menabung sebisanya. Sementara kami tetap hidup sederhana. Itulah kami,  sekarang merasakan hasil jerih payah kami. Itulah sesuatu yang tidak datang dengan sendirinya. Harus, kita usahakan, harus diraih dengan akal budi. Akan tetapi janganlah rakus, segala dihalalkan. Itu kata Kapten akan meracuni hidup kita. Akan menghilangkan kesenangan kita. Berbuatlah sewajar mungkin. Punyailah disiplin dan tanggung jawab. Kalau engkau ingin hidup bahagia. Sebab kata Kapten hanya orang orang yang sanggup berdisiplin dan bertanggung jawablah orang yang hidupnya paling bahagia di dunia ini.”
Tidak kusangka gadis secantik ini punya segudang pengalaman hidup yang sungguh berarti bagiku. Malam semakin larut dan hawa dingin menerpa kulit. Kami duduk berdempetan di kursi kayu yang membeku. Aku lihat tangan Jeki yang putih bersih itu mulai kedinginan. Sebelum aku berkata dia sudah maklum. “Aku senang hawa dingin, lihat ini tanganku, menikmatinya” katanya sambil tertawa. Oh, betapa cantiknya dia pikirku sambil memandangnya lekat-lekat. “Mau apa kau, Nibe?, hatiku sudah kau curi, hatimu sudah aku bawa. Jangan ragu dalam hidup ini. Tapi selalulah waspada dan hati-hati. Sebab kata orang pintar berjaga jagalah selalu, sebab pencuri datang di saat lengahmu” katanya lancar seperti tanpa berpikir. “Engkau ini pengkotbah Jeki?” tanyaku. “Tidak juga, hanya pada orang tertentu aku bicara, mungkin ada gunanya” jawabnya. “Ya, sangaaaaaat berharga” jawabku.




KEAHLIAN BUKAN TURUNAN TAPI  LATIHAN DAN DISIPLIN KERAS
“Boleh aku tanya, Jeki “ kataku setelah dia diam sebentar. “Bukan boleh tapi harus! Bagaimana aku tahu engkau mengerti ceritaku” jawabnya sambil tersenyum. “Kapten bisa sehebat itu apakah turunan? “ kataku penuh antusias. “Eh, Nibe ... aku lapar nih. Ayo cari bakso tennis” katanya. “Samaak ! aku juga lapar” jawabku. Sebentar aku jenguk Pak Galooh di dalam kamarnya. Beliau tidur pulas. Kututup pintu pelan pelan. Sementara Jeki tegak menantiku. Yah aku tidak pernah puas melihat kecantikannya. Di halaman muka RSU Malang ada beberapa kios kios makanan. Kami pesan dua porsi besar bakso Tennes (baksonya sebesar bola Tennes) dan jahe panas 2 gelas. Betapa nikmatnya di kedinginan malam itu santap bersama gadis secantik Jeki. Kami duduk berdempetan. Tak pernah terbayang dalam benakku bisa terjadi seperti ini. Caranya begini sampai pagi pun aku mau. Rupanya pikiranku tertangkap olehnya. “Aku mau ini hanya dengan kamu, tapi suatu saat kau khianati akan kubunuh kau” tegasnya. “Ya .. ya.... ya aku paham. Akan tetapi bagaimana bila kau khianati aku” balasku. “Kesetiaan adalah suatu yang sangat indah Nibe, raihlah itu sebab kebahagiaan ada padanya” jawabnya puitis. “Engkau belajar dari mana Jeki bisa bicara seindah itu” kataku. “Kapten” jawabnya pendek. Sambil meneguk jahe panas. Luar biasa pikirku. Kami kembali ke sal Pak Galooh sambil bergandengan tangan seakan takut saling kehilangan. Duduk lagi berdempetan. “Tadi kau tanya apa?” katanya sebegitu kami duduk di kursi yang dingin membeku itu. “Kapten bisa begitu hebat apakah turunan” kataku kuulangi. “Nibe,.. Nibe kau ini pura-pura atau bagaimana?” katanya sambil tersenyum. Kata orang pintar, tiap orang itu dikaruniai talenta atau bakat. Akan tetapi bakat yang tidak dilatih dengan keras akan hilang. Mungkin Kapten punya talenta akan tetapi menurut pendapatku latihan keras dan disiplinlah yang membina keahliannya. Sebagaimana untuk olah raga menembak saja, harus dia sediakan pistol dan banyak jenis senjata. Peluru yang harus dibeli. Olah raga khusus untuk menembak, buku buku senjata, buku buku amunisi, buku buku bacaan tentang jago jago tembak terkenal dan segala pengalamannya. Buku buku bacaan orang orang besar dalam perjuangan The Wild West seperti Winnetou gugur dari suku Apache di benua Amerika karangan Yan Flemming pria Jerman yang ternyata bisu tuli itu, sampai novel novel bermutu karangan Dale Carnegi yang terkenal sampai Asmaraman Ko Ping Ho itu. Kapten adalah kutu buku yang mampu membaca berhari hari. Dia mampu membawa diri kedalam alur cerita sehingga dia terobsesi seperti salah satu pahlawan idolanya. Kapten itu jujur dan tegas tanpa ampun. Sampai hari ini aku tidak diperkenankan memanggilnya papa atau yang lain. Tapi aku bangga punya papa seperti Kapten” cerita Jeki berapi api. Sampai air matanya meleleh karena bangga. Itulah wanita, senang ya nangis, susuh apa lagi. “Bagaimana dengan gulat dan tinjunya” tanyaku. “Ya sama saja. Persiapan yang prima. Olah raga khusus, disiplin keras dan latihan keras. Sampai mempelajari anatomi dan buku buku kesehatan secara khusus dan sempurna. Sebab kata Kapten letak kemenangan adalah persiapan, kesehatan yang prima, pikiran jernih, yang secara mental harus mau dan mampu menerima kekalahan dan tidak bangga akan kemenangan. Sebab kemenangan adalah beban dan sangat sementara sifatnya. Sulit dipertahankan sebab banyak hal bisa terjadi, usia seringkali jadi kendala. Bagaimanapun hebatnya manusia akan selalu mengalami kemunduran secara fisik maupun mental” kata Jeki lagi. “Jeki kau dapat merekam segala yang terjadi pada Kapten, itu bagaimana?” tanyaku. “Oh, Nibe Nibe baiklah kuceritakan. Sebab aku juga senang olah raga beladiri seperti Kapten. Cuma aku  mengambil yang sesuai dengan fisik wanita” katanya. “Apa itu?” tanyaku. “Ya, .... ya kau telah merasakan bukan dikepalamu, di dadamu di perutmu?” kata Jeki ketawa sambil meraba bagian tubuhku yang disebutnya. Anak Jakarta pikirku. Rupanya hal yang dilakukan seperti hal yang biasa biasa saja tanpa beban mental sedikitpun. Kalau gadis sini mana berani pikirku. “Bagaimana dengan ibu?” tanyaku. “Oh, ibu adalah sebagai peredam dan pendingin. Api api yang sering membakar diri kami, bagaimanapun kami pernah gagal dan jatuh, adalah wajar emosi dan kemarahan membakar diri kami dan ibu sebagai penyelamat kami” jawab Jeki. “Bagaimana dengan menembak?” tanyaku “Ohh...sangat menyenangkan, nanti kau kalau tidak setia padaku akan kubunuh dengan pistol tepat di sini” katanya sambil meraba keningku. “Mengapa di sini?” kataku “Aku mau kau mati dengan cepat dan tak terasa” katanya lagi selalu tersenyum, “Mengapa tak terasa?” kataku lagi “Karena aku sayang kau Nibe” katanya lagi, kami berpandangan lama, binar-binar matanya, detak-detak jantungnya, sepoi-sepoi harum parfum yang mewangi, mana tahan pria tak hadir pada undangannya, kami berciuman mesra dikedinginan hawa kota Malang, kami terhanyut-terhanyut, tiba-tiba terdengar klakson mobil, terasa badan Jeki terlonjak “Kapten!”cetusnya, kami tersadar dan cepat saling menghindar, tidak lama kemudian terdengar bunyi sepatu memecah kesunyian  “Ibu” bisiknya sementara aku berbisik “Jeki, lipstik dan pupurmu hilang, nanti ibumu ...” dia terbelalak dan mencoba mengaca di kamar Pak Galloh “Ah ... kamu sih ... terlalu” desisnya “Enak sih” jawabku “Gombal kau!” katanya, akan tetapi sinar matanya menunjukkan kepuasan hatinya, habis telah 2 minggu tidak ketemu pikirku, sementara ibu Jeki datang “Selamat malam ... ibu “ kataku “Malam ... Nibe” jawabnya ibu Jeki memandangku lama-lama sambil menggeleng-gelengkan kepala sementara senyum bangga keibuannya sangat menenangkan hatiku, mana Kapten pikirku sebab aku ingin tahu bagaimana beliau dan kepribadiann Kapten yang hebat itu, semalaman aku tertidur pulas, sebab Pak Galloh sudah hampir sembuh, mimpiku dipenuhi oleh bunga-bung cinta “Oh, Jeki ... Jeki ... kekasih” bisikku.   
Terdengar sayup-sayup lagu favorit saat itu di radio swasta Bravo Vivas dari Kota Batu:

LET IT BE ME

I BLESS TO DAY I FOUND YOU
I WANT TO STAY AROUND YOU
AND SO I BEG YOU
LET IT BE ME
EACH TIME WE NEED LOVE
I FOUND COMPLETE LOVE
WITHOUT YOUR SWEET LOVE
WHAT WILL I BE
SO NEVER LEAVE ME LONELY
TELL ME YOUR LOVE ME ONLY
AND THAT YOU ALWAYS
LET IT BE ME





TAMAN BUNGA DI SELEKTA

Pagi itu aku sudah datang di Selekta, berboncengan sepeda motor dengan Carrulos teman dalam tugas yang sama, akan tetapi dia mendapat tugas di tempat lain untuk survey pembuatan taman bunga, membawa perlengkapan seperlunya sekop kecil buku harian dan tustel, kutekan bel yang diletakkan agak tersembunyi di Gapura sebuah Bungalow besar, tidak lama kemudian seseorang membukakan pintu dan menyilakan aku masuk dengan bahasa Jawa yang sempurna, segera kuperiksa halaman sekitarnya Play Groundnya masih kosong tapi alam sekelilingnya sangat mendukung, di belakang bungalow itu terhampar luas kebun apel sampai di puncak bukit  “Pasti orang gedean yang punya” pikirku sementara aku duduk di kursi beton disamping lobby datang seorang yang tinggi besar, badannya kekar dan kelihatan raut mukanya yang tenang dan serius, mata yang tajam bagai mata burung rajawali, aku segera berdiri dan menyampaikan surat dari bosku “Duduk” katanya penuh wibawa sambil menunjuk ke kursi beton, dibacanya surat itu setelah itu dia memandangku sebentar dan disalaminya aku dengan senyum sedikit, tangannya halus seperti kapas tapi dingin terasa ada daya yang terpancar dari dalamya sesuatu yang belum aku mengerti, “Jadi kau adalah supervisi perencanaan taman bunga” katanya menggema di telingaku “Iya, Pak” jawabku “Mari kuantar” katanya sambil bangkit. Kami berjalan di halaman muka “Aku ingin ada palem Raja di sini cukup enam pohon saja, nanti jarak ini kau bagi sendiri” katanya, ”Lalu taman bunga dan relief di sana” katanya lagi sambil menunjuk suatu tempat dekat pagar batas, lalu Play Ground disamping bangunan, ada kolam indah dan kurungan burung lengkap dengan bangunan environment (tiruan alam aslinya) jenis burung Flamingo dari China, untuk sementara cukup” katanya, semua perkataan kucatat “Bagaimana, ada pertanyaan?” katanya lagi “Cukup Pak, cuma penggalian untuk palem raja dilaksanakan hari ini” kataku. Dia mengernyitkan alis tebalnya. “Iya Pak, itu memang harus begitu untuk mengurangi kadar keasaman tanahnya” kataku lagi. “Ya, tapi di sini tidak ada tenaga” jawabnya. “Oh, tidak perlu Pak, itu tugas kami” jawabku. Dengan cepat kubuat sketsa untuk sekitar bangunan Bungalow itu dari beberapa foto ke 4 arah dan beberapa foto bungalaow itu dari beberapa arah. Selesai sudah sementara dia mengawasiku dengan cermat. “Sudah lama kau kerja ginian” katanya dengan senyum mahalnya. “Lumayan Pak, di sini ada alat gali, Pak?” tanyaku. “Di gudang bisa kau lihat sendiri” katanya sambil menunjuk suatu tempat. “Cukup, ya nanti kalau perlu apa apa datang ke lobby “ katanya.
Seorang ibu tua sedang menyapu lantai lobby . Aku mendekat, dia langsung bicara. “Bisa aku menolongmu” katanya. “Aku butuh kunci gudang” kataku. “Oh iya, tadi Pak Kapten sudah bicara” katanya. Tidak lama kemudian aku sudah menerima kunci. Tiba-tiba terdengar bunyi gitar dipetik dan lagunya I start a Joke nya Bee Gees. Oh, seperti suara Jeki pikirku. “Buk siapa yang gitaran diatas” tanyaku. “Den Sri, putera Pak Kapten” jawabnya. Mataku terbelalak kaget bukan main. “Ada apa, nak?” kata ibu itu keheranan. “Oh, tidak apa apa” kataku segera cepat berlalu. Di dalam gudang kulihat penuh dengan perlengkapan pertanian. Segera kuambil garpu penggali, sekop besar dan sepatu lapangan. Aku harus secepatnya menyelesaikan tugas ini, agar Jeki tidak tahu,  pikirku. Hem dan celana Pramuka dan kaos singlet kulepas hanya memakai celana dalam dan sepatu panjang. Dengan cepat kuukur dan kutandai. Aku bekerja seperti kesetanan. Menggali ukuran 60 x 60 x 60 cm sebanyak 6 lubang. Ingin aku selesai secepatnya. Akan tetapi, sialan, ternyata tanah di sini berbatu. Terpaksa aku mengambil linggis  untuk  mengatasinya. Gitar dan lagu lagu terus mengalun dengan indahnya di pegunungan yang sunyi itu yang ternyata memberi semangat padaku. Seperti lagu Yesterday, San fransisco, Massachusset, Let it be Me, Its now or never, Release Me, Walk awaynya Matt Monru dan masih banyak lagi. Di mana saat itu menjadi lagu lagu favorit para remaja. Sambil bekerja aku mengikuti semua syair sebisanya. Habis aku juga lagi gandrung dengan lagu itu. Tiga lubang aku selesaikan dengan susah payah. Sebab ternyata tanahnya berbatu. Batu batu besar aku angkat. Payah juga, air putih satu toples aluminium besar sudah habis. Di hawa sedingin ini badanku penuh keringat bagai baru mandi. Aku istirahat sebentar di dekat batu besar. Tiba-tiba, ”selamat pagi Nibe” terdengar suara Jeki. Aku terlonjak. Kulihat dia datang sambil membawa nampan besar berisi makanan dan minuman. Senyumnya kekanak-kanakan melebar. Oh, senyum itulah yang membuat aku selalu rindu padanya. “Ayo Nibe ... ini untukmu, ayo ... dimakan” katanya sambil meletakkan nampan di atas batu besar. Sementara aku masih terkesima melihatnya. “Jeki, aku ... tidak mengira ...” kataku tersendat. Jeki memandangku sambil tersenyum. “Inilah hasil jerih payah kami selama ini Nibe. Berhemat dan menabung tentunya” katanya lagi. Jeki mulai mengoceh. Ayo dimakan aku mengambil gitar dulu. Dia berbalik dan melangkah. Dia memakai kaos putih tipis. Celana hitam yang ketat. Oh, betapa indahnya. Selangit pokoknya pikirku. Makan siang itu kulahap dengan cepat dan kembali bekerja keras menggali lubang, ternyata aku tidak bisa bekerja dengan cepat sebab terus menerus Jeki bicara dan bertanya ini bertanya itu. Yah, aku terpaksa bekerja saja sambil menjawab pertanyaan-pertanyaan Jeki yang tak habis habisnya. Diselingi lantunan lagu dan gitarnya yang lincah menawan. “Kamu kalau kerja seperti setan” kayanya lagi. “Setan apa?” jawabku. “Setan tak berbaju” jawabnya sambil tertawa cekikikan. “Kemarin kami menyuruh orang menggali lubang untuk sampah 2 hari baru selesai” katanya lagi. Aku diam saja. “Kamu, 3 lubang selesai dalam 2 jam. Kalau tidak setan, mana mungkin” katanya lagi, sambil melempar tanah pada punggungku. Aku berhenti menggali dan duduk di atas batu sambil meneguk air putih. Jeki melihat air itu sudah habis. “Sini, sini kuambilkan lagi” cetusnya. Disambarnya gelas besar itu dan segera lari ke lobby. Tak lama kemudian dia sudah datang membawa air dan sekeranjang kecil buah apel besar besar yang ranum. “Ayo, ini Nibe ... ini tanaman Jeki sendiri” katanya dengan mata bersinar-sinar. Aku hanya mengacungkan jempol sambil memandangnya. Ternyata dia juga mampu bekerja di lapangan pikirku. “Kau menanam sendiri?” Kataku dengan pandangan kurang percaya. “Ya aku bersama ibu dan Kapten. Kamu harus lihat kebunku” jawabnya bangga. “Hebat ... hebat ...” jawabku sambil mengunyah apel besar itu. “Makanya ...” kataku terhenti. “Makanya apa?” katanya serius. “Ah ... nggak jadi”  kataku. “Eh, Nibe ... kau selalu membuat aku penasaran. Ayo katakan” kata Jeki  lagi. “Makanya rasanya sangat manis, semanis yang nanam” kataku. “Ah, kau mesti begitu” jawabnya dengan kerling manjanya. Tidak terasa 5 lubang sudah terselesaikan. Yah mungkin didekati bidadari itu pikirku, semangat kerjaku semakin berkobar dan kebetulan dua lubang terakhir tanahnya tidak berbatu. “Eh Nibe ... aku ingin tahu pendapatmu” kata Jeki sambil memandang tajam padaku. “Tentang apa?” Tanyaku. “Yah tentang diri Jeki ini” jawabnya. Aku diam sebentar dan memandangnya dan kami tertawa bersama. “Oh, aku tidak mau” jawabku. “Mengapa?” katanya. “Takut” jawabku. “Takut apa?” tanya Jeki. “Takut nanti kau marah” jawabku. “Tidak, aku tidak marah, janji!” jawab Jeki antusias. “Awas kalau marah, ya?” kataku sambil menyodorkan tinju di mukanya. Jeki tertawa cekikikan. Aku menarik napas panjang. “Pertama, kau ini kadang kadang judes” kataku. Dia terlonjak. “Kedua, kau ini kadang kadang penuh pengertian dan perangaimu halus sehalus sutera” kataku. Terlihat matanya berkilat-kilat senang. “Ketiga,  kau ini kadang kadang mengumpat dan merendahkan orang lain (ngenyek. Bhs. jawa)” kataku sambil melihat perubahan mukanya. Yah, benar mukanya mulai memerah. Aku diam. “Teruskan, teruskan” katanya . “Ini keempat, kau ini juga sering membuat orang penasaran dan sangat menarik hati” kataku. Terlihat matanya berkilat kilat penuh haru biru. Aku diam lagi. “Ayo Nibe ... teruskan!” katanya mulai dengan tekanan tinggi. “Kamu ini ... eh..., tidak berani aku” kataku. “Eh, kamu ini ... ayoh terus katakan, bikin jengkel saja”  katanya mulai panas.  “Kelima, kamu ini ... sak dengkul” kataku sambil menahan tawa. “Apa sak dengkul? Apa artinya?” katanya sambil mendekatiku. “Oh,  kamu mengerti kelak” jawabku sambil ketawa. “Tidak, aku harus mengerti sekarang” kata Jeki sambil terus menggoncang-goncangkan badanku. “ Lha ... lha ... mulai marahkan?” kataku sambil menunjuk hidungnya. “Kamu sih ... dengkul kan artinya lutut, masa aku kau katakan selutut apa artinya?” kata Jeki sambil terus menggoncang goncangkan badanku. “Ayo Nibe katakan, cepat” katanya penasaran, “Kamu kan janji tidak marah kan?, jadi harus nurut. Suatu saat aku terangkan” kataku lagi. “Kamu sih ... bikin aku penasaran, bikin aku jengkel. Kamu menghina aku ya, kamu jahat, kamu nakal” kata Jeki mulai memukuli dadaku dengan mimik penuh kejengkelan. “Ayo Nibe katakan cepat!” kata Jeki seperti anak kecil kakinya melonjak lonjak persis kalau anak  kecil minta sesuatu. Rupanya dia telah lupa akan janjinya. “Biar aku timbun lagi lubangmu” katanya merajuk. Batu batu dimasukkan lagi ke dalam lubang dengan kakinya. Sementara aku memandanginya dengan menahan ketawa, itulah anak tunggal, manjanya bukan main pikirku. Ternyata aksinya tidak kutanggapi. “Heh ... masih ada satu lagi” kataku. Cepat dia bangkit berdiri sambil bertolak pinggang. “Heh ... apa lagi” dengusnya. Mata yang indah itu sudah mulai menajam seperti mata Kapten. “Yang terakhir,  kamu ini kalau disun, melonjak lonjak terus lemah tak berdaya” kataku sambil tertawa. Ternyata dugaanku salah. Dia sungguh sungguh marah. Aku dilempari dengan tanah. Sambil berteriak teriak. “Kamu jahat Nibe , kamu nakal. Awas kamu aku laporkan Kapten, biar kamu ditembak, biar bajumu kubakar. Awas kau !” katanya. langsung saja mengambil ransel dan bajuku dan terus dibawa lari. Sementara aku terbengong bengong tidak tahu harus berbuat apa. Ah biar saja, masak dia sampai hati pikirku. Kini aku menyelesaikan yang satu lubang lagi. Tidak lama kemudian si Mbok yang menunggu lobby datang tergopoh-gopoh. “Heh ki sanak, ada apa? Den Jeki kok marah marah. Itu Pak Kapten sedang tidur. Kamarnya di dobrak  terus barang barangmu disuruh bakar, ada apa nak?” laporannya dengan penuh ketakutan. Aku juga keheranan. Memang anak manja ya ... biarkan aja Mbok. Tolong barang barangku disimpan saja. Jangan dibakar” kataku. “Ya nak, Den Sri itu kalau punya kemauan, ndak ketulungan, nak. Gidro gidro seperti anak kecil” jawabnya. Simbok itu terus berbalik ke lobby. Tepat aku selesaikan lubang yang ke 6 Jeki datang dengan muka merah padam. Berdiri tegak sambil bertolak pinggang. “Kamu harus bertanggung jawab atas kata katamu. Kamu dipanggil Kapten. Kamu harus mandi dulu.pakaian pramuka lengkap. Kamu harus hapal Dasa Dharma ayo cepat!” perintah Jeki tegas tidak secuil senyumpun kudapatkan di wajahnya yang cantik menggoda itu. Aku sudah  terbiasa dibentak, disewoti, ditertawakan orang, dihina dan lain lain semuanya kutanggapi dengan  senyum yang semanis manisnya, itulah senjata ampuhku, yang mana sering membuat orang kebingungan dan kalah mental.
Bukan main segarnya air gunung. Terasa seluruh payahku hilang oleh guyuran air dingin dari aku kamar mandi yang putih bersih  itu. Ini sangat kebalikan dengan kamar mandiku di desa Bunul Malang yang jorok dan kotor. Dengan cepat aku berpakaian Pramuka lengkap. Memang itu pakaianku sehari hari. Terutama dalam tugas mencari uang. Memang ternyata mampu menarik minat  orang untuk memberiku suatu pekerjaan. Di ruang lobby itu sudah menanti Pak Kapten, ibu Jeki dan simbok tua, Jeki yang sudah menempel ketat pada Kapten. Mimik Kapten biasa biasa saja malah terlihat rasa puas dan senyum yang di tahan. Ibu Jeki seperti biasa dia tenang, sangat agung dan anggun. Mimik Jeki justru kelihatan tegang dan cemas. Sama seperti mimik si Mbok tua itu tegang dan cemas. Aku melangkah tegap seperti kalau sedang latihan. Berhenti 3 m dari muka Kapten. Beliau segera berdiri tegap. “Siap Kapten!” kataku sambil hormat pasukan. “Dasa Dharma” katanya menggema. Aku segera menyatakan Dasa Dharma degan tegas dan keras. Setelah selesai, Kapten manyalamiku dan tersenyum lepas. “Tugas kamu sudah selesai ?” katanya. “Sementara sudah, Kapten” jawabku sambil hormat pasukan. “Oke sekarang kamu duduk!” katanya sambil menunjuk sebuah kursi dari penjalin. “Siap Kapten!” jawabku terus aku duduk. Sesaat kemudian sunyi senyap semua menanti kata kata Kapten. “Oke kini ada apa kamu dengan Jeki?” kata Kapten pelan. Akan tetapi membuatku terlonjak juga. Aku menarik nafas panjang. “Sebaiknya Jeki saja yang cerita” usulku. Jeki bercerita dengan bersemangat. Ternyata dia katakan apa adanya. Ini suatu nilai dari ajaran keras dan kejujuran, pikirku. Aku lega, tapi yang terakhir tidak dia katakan. Ya aku maklum, dia sesaat melihatku sambil mengodeku dengan kedipan tak kentara. Akupun mengangguk dengan tak kentara. Sementara rupanya Kapten sempat melihat kejadian itu beliau hanya tersenyum ditahan, setelah selesai. Sunyi lagi sesaat semua menahan nafas menanti putusan Kapten. “Ayo Jeki, itu tadi salah atau betul?” menurutmu. Jeki hanya mengangguk. “Kamu tidak boleh hanya mengangguk, ayo bicara!” kata Kapten tegas. “Ya Kapten benar, akan tetapi aku dikatakan sak dengkul itu. Aku marah sebab Nibe tidak mau menerangkan” jawab Jeki dengan tegas pula. “Oh, itu ... ayo Nibe apa itu artinya?” kata Kapten yang rupanya juga tidak mengerti. “Ah Kapten, itu hanya guyonan” jawabku. “Iya tapi kan kami tidak mengerti artinya, ayo jawab” kata kapten lagi. Sialan, aku terjebak kini pikirku. “ Okelah ... tapi biar Jeki saja yang tahu” jawabku. Semua saling berpandangan dan tidak lama. “Okelah, ayo Jeki sana “ kata kapten. Dengan malu malu Jeki mendekatiku. “Apa?” bisiknya. Aku berbisik ke telinga Jeki. Dan kontan saja dia berteriak. Kamu ini memang konyol, kamu memang jahat terus saja dia memukuli dadaku dengan tangannya. “Kapten dia katakan Jeki sedeng sedengnya dirangkul” kata Jeki dengan keras. Tidak terduga Kapten langsung tertawa dengan keras. “Ha ... ha ... ha ... anak ini lucu” beliau tertawa dan tertawa lagi. Sementara Jeki merah padam mukanya karena malu. Segera diambilnya tongkat komando yang keras itu untuk memukuliku. Aku berkelit kesana kemari menghindari pukulan pukulannya sebab kalau sampai kena bisa mati aku. Akhirnya aku daripada kena pukulan juru terakhirku adalah langkah seribu. Dia tetap mengejarku sambil berteriak teriak ndak karuan. Rupanya memang dia sungguh mau menghabisiku. Sementara ibu Jeki baru bicara. “Pak, Pak itu anakmu bagaimana?” Dan dijawab Pak Kapten “biarkan saja mereka ..... oh, perutku sakit aku tidak pernah tertawa seperti hari ini”. Setelah itu aku tidak mendengar lagi perkataan beliau itu sebab aku harus  memperhatikan Jeki yang berteriak teriak di belakangku dengan marahnya yang berkobar kobar. Aku tahu kelemahannya Jeki, dia tidak begitu kuat berlari. Maka aku permainkan dia. Kesana kemari. Sampai di atas bukit. Jeki tertinggal agak jauh dengan nafasnya yang tersengal sengal. Ternyata pemandangan di atas bukit itu sangatlah indahnya. Sampai diatas bukit tiba-tiba Jeki terjatuh dia tidak bangun lagi. “Nibe.. Nibe tolong aku kakiku sakiit” teriaknya. Aku terhenti dan kembali padanya. Tapi dengan waspada jangan jangan ini hanya tipuan saja. Ternyata benar dia tidak menipuku. Mukanya pucat pasi kedua tangannya memegang betis kirinya yang dulu pernah cedera kutendang di Lambau dulu. Rupanya dia kena kram berat. Aku segera menolongnya. “Coba lepas tanganmu. Jangan panik, luruskan tubuhmu terus ambil nafas pelan pelan dan isi dadamu sebisamu terus tahan dan tekan, pejamkan matamu lepas lagi nafasmu pelan pelan dan tarik lagi penuh penuh dan tahan dan tekan” kataku berulang ulang sambil memijat beberapa urat di bagian kakinya yang tidak sakit. Tidak lama Jeki sudah bisa senyum. Akan tetapi tiba-tiba punggungku terasa dipukul keras dua kali dengan tongkat komando. Aku menggeliat geliat kesakitan. “Sudah puas aku kini” cetus Jeki . “Kamu sudah ditolong, kok ya masih mukul” keluhku. “Biar kapok” jawabnya ketus. “Habis kau membuat aku penasaran, jengkel , marah, malu biar kapok” katanya lagi tapi kini dengan senyum. Sialan anak ini pikirku. “Ayo kita pulang, kaptenmu nanti marah” kataku. Ternyata untuk berjalan Jeki belum bisa. “Masih sangat sakit” katanya. “Ayo angkat aku” katanya manja. “Heh, Jeki aku sangat payah hari ini aku tidak kuat” kataku. “Biarin, ayoh angkat aku” perintahnya. Terpaksa aku angkat dia. Hanya beberapa meter berjalan aku sudah tidak kuat. Aku letakkan Jeki di rerumputan. “Jeki aku istirahat sebentar ya, aku payah sekali hari ini” kataku. Akupun tiduran terlentang di rumputan di dekatnya memejamkan mata sambil merasakan segarnya udara Selekta yang dingin sehat. Entah beberapa saat aku sungguh sungguh tertidur. Kemudiai sayup sayup tedengar suara Jeki. “Nibe, bangun ... dengar aku” katanya. “Ah kamu .... Aku masih ngantuk, lo” kataku. “Kapten kagum lho, denganmu” kata Jeki sambil menggeser tubuhnya dan meletakkan kepalanya diatas perutku. “Kagum apanya?” jawabku. “Enam lubang dalam setengah hari bukan main” kata Jeki. “Kau tahu apa sebabnya” kataku. “Apa sebabnya, Nibe?” Jeki balik tanya. “Ya, sebab ada bidadari di dekatku, sehingga aku ..” jawabku. “Kau mesti begitu” kata Jeki sambil membalikkan tubuhnya dan menutup mulutku dengan tangannya. “Apa sih yang menarik dariku?” katanya. Sementara aku diam karena masih sangat mengantuk. “Tidak ada yang menarik pada dirimu” jawabku. “Apa? Apa? Sekali lagi? jawab” kata Jeki  sambil menggoncang ggoncangkan tubuhku sehingga aku terbangun. “Eh, kamu tadi bicara apa?” kataku sambil menguap. “Apa sih yang menarik dariku ?” kata Jeki dengan keras. “Oh, itu ya tidak ada yang tidak menarik dari dirimu. Yah yah yah semuanya menarik tuan puteri!” jawabku juga keras. “Habis orang ngantuk berat ditanya” kataku lagi sambil bangun. “Oh, kamu ini mesti membuat aku..... penasaran .....penasaran.... penasaran .... “kata Jeki sambil memukuli dadaku. “Eh, Jeki nanti organ tubuhku tidak berfungsi, lho” kataku. “Kalau memukul, yang sini saja” kataku sambil menunjuk ke punggungku. “Oh, kau anggap aku tukang pijatmu ya“ katanya sambil memelototiku akan tetapi penuh senyum yang ditahan. “Ya siapa tahu kalau bidadari itu bermurah hati” kataku sambil menguap. “Ya ya mari aku pijat” katanya akhirnya. “Ayoh punggungmu sini!” perintahnya. Aku menggeser dudukku dan membelakanginya. “Ya allah punggung kok keras begini siapa yang kuat memijit, ya begini saja” katanya terasa punggungku dipukulinya dengan tinjunya dag dug dag dug oh, betapa enaknya. “Agak ke bawah, ya .. ya .. disitu yang keras” perintahku. “Sialan kamu tanganku yang sakit, kamu yang keenakan” cetusnya. Beberapa saaat kemudian “sudah cukup Jeki ayo kita pulang nanti Kapten marah lho” kataku. “Kakiku nasih sakit Nibe” jawabnya. Kupandangi dia. “Ayo, aku papah kau” kataku sambil menarik tangannya “Nggak mau .... nggak mau” katanya merajuk. “Terus maumu apa?” kataku “aku panggilkan ambulan ya?” kataku sambil tertawa. “Nggak mau .... nggak mau ...” katanya sambil merajuk. “Ya, sudah aku tinggal ... biar Kapten kesini” kataku terus pura pura meninggalknnya. “Nibe, gila kamu, .... sini Nibe” teriak Jeki dengan manjanya. Aku kembali padanya. Aku duduk dimukanya sambil kulihat dekat dekat. “Apa, Jeki sayang” kataku. “Aku gendong” katanya manja. “Sebesar ini minta gendong, nggak malu” kataku mamancing. “Kakiku masih sakit Nibe, aku gendong” katanya Jeki. Aku pandangi dia lama lama dan kami tertawa bersama. Bidadari secantik ini siapa yang mau menolak pikirku. “Baiklah aku gendong tapi apa upahnya” tanyaku. “Ini” katanya sambil mengeluarkan livenstip warna merah dari dalam kantongnya. Aku terkejut. “Iya, aku senang itu tapi yang nempel disitu” kataku sambil melihat ke bibirnya. “Kali ini jangan ya Nibe, sebab Kapten nanti marah, sebab dia itu tahu aku di mana mana” kata Jeki agak kuatir. “Okelah, Jeki ayo cepat naik” kataku sambil jongkok di dekatnya, Jeki kugendong tertawa cekikikan. Berat badannya cuma sekitar 40 kg. Kecil bagiku, aku biasa mengangkat karung beras seberat 1 kuintal sekali angkat.  Akan tetapi kehangatan tubunhya, detak detak jantungnya, keharum wangian tubuh dan rambutnya kalau terlalu lama mampu membuatku pingsan sungguhan. Aku berlari turun dari bukit sambil menggendong Jeki dibelakangku. Kuturunkan dikursi teras lobby yang  membuat ayah dan ibunya terjejut dan menggeleng geleng kepala. “Jeki sakit, kakinya kambuh ibu” katanya. Segera Pak Kapten memeriksanya. “Ambil kompres dan pembalut” perintahanya. Sementara aku segera menyingkir. Aku tahu bahwa sakit Jeki sudah jauh reda. Jeki berakting seperti sakit sungguhan. Ya demi kami biar tidak terlalu malu. Kapten mendekatiku “Jeki itu manjanya selangit, maaf ya?” kata Kapten sambil menepuk bahuku. “Tidak apa apa Pak Kapten” jawabku. “Terus bagaimana  kelanjutan rencana taman bunga itu?” kata beliau. “Data ini kami laporkan ke bagian perencanaan nanti, kalau bapak sudah setuju kami segera membangunnya” jawabku. Kira kira kapan anda kesini lagi?” tanya Kapten. “Mungkin seminggu lagi, tapi sebaiknya Pak kapten menghubungi ini” jawabku sambil menyerahkan kartu pengenal bosku. Tidak lama kemudian Carrulos datang dan aku berpamitan pulang. Pak Kapten menyalamiku. “Terima kasih, ya ..., hati-hati di jalan” katanya. “Terima kasih, Kapten” jawabku terus hormat pasukan. Dan aku mendapatkan teman di jalan. Kutengok ke belakang semua tersenyum dan melambaikan tangan padaku. Kubalas mereka dengan senyum dan lambaian tangan pula. Segera  Hd itu menderum keras meninggalkan Selekta. Di  pasar Batu kami berhenti mencari STMJ bersama temanku Carrulos, dia juga mengeluh kecapaian. “Hari ini aku menggali 4 lubang. Wah tanahnya berbatu, payah aku” katanya. ”Samaak” kataku. “Engkau  menggali berapa lubang?” katanya. “Eh, tadi kuhitung ada enam lubang kalau tidak salah” katanya. “Eh, kamu menghitungnya, Los?” kataku. “Iya dari jalan tadi, kan premimu lebih besar lagi” katanya. “Iya, kau benar, dan tanah berbatu, preminya lebih besar lagi” kataku. Sementara kami bersama sama menikmati STMJ dengan roti bakar di hawa kota Batu yang mulai mendingin itu. Nikmat bukan main. Malam itu pula kami mampir ke Studio Foto viva dekat Toko Rajab Ali Jl. Kayutangan mencuci dan afdruk foto. Terus masuk kantor bos. Kubuat laporan lengkap tentang kondisi tanahnya, jenis tanahnya dengan beberapa contoh tanah yang dimasukkan kantung plastik (sample). Kubuat sketsa lengkap dan rencana kasar. Langsung mendapat uang saku yang lumayan besarnya. “3 hari lagi kamu kesini, lihat hasilnya” kata bosku sambil tersenyum puas. Kami berpamitan. “Kuantar kau Nibe tapi isi ini” kata Carrulos sambil menunjuk ke tangki Hdnya. “Oke, Los” jawabku.

MEMOMPA SEPEDA DI ALON ALON

Minggu pagi aku menanti Carrulos kebaktian Misa di gereja Kayutangan. Aku duduk di dekat patung Chairil Anwar yang terkenal dengan puisi Karawang Bekasinya itu. Sambil meneliti gambar rencana Taman di Selekta yang akan ditrapkan ukurannya. Tepat jam 8 pagi missa selesai. Kerumunan umat keluar dari pintu gereja. Terlihat 2 orang gadis manis menuntun sepedanya. Melihat kesana kemari ternyata sepedanya gembos. Aku ini mudah merasa kasihan kepada siapapun. “Gembos mbak, sana ada tukang sepeda” kataku sambil menunjuk ke pojok alon alon. Sementara aku mencari Carrulos yang dari daerah Kupang Timor Barat. Kulitnya hitam legam itu datang, yang putih hanya mata dan giginya. Makanya dia disebut Oh, si hitam. Dia naik sepeda motor Hd kakaknya dengan suara memekakkan telinga karena sarangan suara dilepas. “Ayoh... Nibe, kita terus berangkat” katanya. Samapai di pojok alon alon kami berhenti karena trafic light merah. Terlihat 2 gadis tadi masih sibuk memompa sepedanya. “Rupanya ada kesulitan, Los ..... sebentar” kataku sambil kudekati dia. “Bagaimana...., sulit? Coba kulihat” kataku. Ternyata pentilnya kemasukkan tanah maka mompanya sulit. “Mana rumahnya?” tanyaku. “Mbebekan Tanjung” jawabnya “Di mana itu?” tanyaku sambil membersihkan pentil itu . “Di sana, Kasin Kulon ke barat” jawabnya lagi. “Banyak bebeknya ya?” tanyaku sambil senyum. “Dulu kala  katanya” jawabnya sambil tertawa. Eh, manis juga anak ini pikirku mulai nakal. Tidak lama kemudian Carrulos datang. Langsung saja dia menolong untuk memompa sedangkan aku hanya memegang cop slang pada pentil. “Eh, non kata siapa tadi” kataku. “Oh, itu kan kata nenek moyang” jawabnya sambil tertawa. “Eh, non, boleh main?” tanyaku. Dia memandangku agak lama. “Mengapa tidak?” jawabnya sambil tersenyum tersipu. Ternyata agak berat juga memompanya. Mungkin kotoran dari selang mengganggu dan akhirnya selesai. Sepeda kuserahkan ke gadis gereja tadi. “Terima kasih, ya mas” katanya sambil tersenyum padaku. Terus mereka berlalu. Carrulos marah marah “sialan anak itu, aku yang susah payah memompa, engkau yang mendapat terima kasih” katanya sambil naik Hd nya. Aku hanya tertawa tertahan. “Sudahlah, Los begitu saja kamu kok marah’ kataku. “Aku tidak marah hanya kesal. Kamu lihat sendirikan dia tidak melirik sedikitpun pada saya. Sementara dia tahu aku yang bersusah payah memompa sepedanya” katanya lagi. “Sudahlah, boleh marah akan tetapi cepat reda itu sehat, itukan nasehatmu dulu padaku, Los. Nanti kapan kapan kita main ke rumahnya” kataku menepuk-nepuk bahunya. “Kau tahu namanya, rumahnya?” tanya Carrulos. “Di Alkitabnya tadi kan ada nama dan alamatnya” jawabku. “Oh, kamu memang lihai di bidang gituan” jawabnya. “Iya tapi kalau buku tadi bukan miliknya bagaimana?” katanya lagi. “Itu nasib namanya” jawabku. Orang laki laki tidak boleh mudah putus asa, Los. Kan kamu juga belum punya pacar kan?” kataku tidak lama kemudian. “Terima kasih Nibe” katanya sambil ketawa ceria sebagai biasanya. Sepeda motor ini keluaran 1940an berarti aku dan Carrulos belum lahir. Cerita kakak Carrulos ini sepeda jaman kompeni waktu Pemerintah Belanda. Akan tetapi karena perawatan dan kontrolnya sangat baik sepeda HD ini masih kelihatan mulus. Sampai daerah Sengkaling jalan mulai menanjak. Gas dibesarkan. Suara knalpot yang memekakkan itu semakin keras. Saat itu masih banyak pejalan kaki. Semua mengomel. Oh, gila anak itu seperti telinganya sendiri saja dengan pandangan melotot pada kami. Kami hanya tersenyum simpul sambil melambaikan tangan tanda persahabatan

 

 

MENGUKUR TAMAN DI SELEKTA

Jam 9.00 pagi kami sampai di Selekta. Lubang lubang yang dirusak Jeki sudah dibetulkan lagi. Aku langsung ke lobby menemui Pak Kapten ternyata beliau tidak ada. Kelihatan Jeki memakai celana pendek blucin kumal dan kaos putih tembus pandang tertawa lebar menyapaku. “Hei, Nibe apa kabar?” katanya. Aku tertegun sesaat menatap pemandangan indah itu. “Baik, Jeki. Gambar perencanaan taman sudah disetujui Pak Kapten. Tinggal pengetrapannya di lapangan. Kau mau bantu aku?” tanyaku sambil membuka gambar rencana taman di meja lobby. “Oke saja, berapa gajinya?” jawabnya sambil memandangku dengan senyum kekanak kanakannya yang menggemaskan itu. “Yah, nanti kau aku gaji dengan gaji yang hebat dan istimewa” jawabku sambil meremas tangannya. “Gaji kok hebat dan istimewa, apaan itu?” tanya Jeki sambil ganti meremas tanganku. “Yah memang hebat dan istimewa nanti, kau tahu” jawabku serius. “Kau itu mesti membuat orang penasaran, Nibe .... awas kalau tidak hebat dan istimewa” jawab Jeki sambil mengacungkan tinjunya kepadaku. Aku tersenyum sambil memandangnya lekat lekat. Kapan lagi menikmati kecantikannya. Jeki mendekat dan melihat gambar dengan seksama. “Ini taman bunga ya Nibe? ini kolam ikan, terus ini pohon Palem raja, ini taman environment, ini taman relief, terus ini apa kok tidak jelas?” katanya sambil menunjuk dengan ujung jarinya yang lentik. “Yang mana?” tanyaku. “Ini ... ini ?” katanya sambil menunjuk suatu gambar yang tidak jelas. “Ini kan gambar waktu kamu merengek minta digendong, padahal hi... hi .... hi .... hi ....” kataku sambil tertawa. “Padahal ... apa?” kata Jeki cepat sambil siap-siap mencubitku. “Padahal kamu tidak sakit sama sekali kan?” jawabku. “Oh, kamu mesti begitu” katanya terus saja tangannya mencubit punggungku keras keras. “Eh, eh, Jeki nanti ..“ kataku “Tidak berfungsi kan?” kata Jeki menyambung sambil memeperkeras cubitannya. “Biar tidak berfungsi, biar .... “kata Jeki gemas. Tiba-tiba Mbok Yem muncul dia terkejut melihat tuannya begitu erat denganku si penggali lubang. Dia segera balik. “Mbok ada apa” tanya Jeki tanggap. “Oh, den ayu, sarapannya sudah siap” katanya sambil berlalu menunduk nunduk  Terus saja tanganku ditariknya ke meja makan. “Jeki aku sudah sarapan tadi” kataku. “Aku tahu ... aku tahu itu akan tetapi aku juga tahu siapa engkau pokoknya ayo kita santap bersama oke?” katanya. “Oke ... oke... Jeki” jawabku. Sialan, dia tahu aku selalu kelaparan pikirku sambil mengikutinya ke meja makan  yang  bersih mengkilat terbuat dari kayu sonokeling yang berwarna hitam tua dan kokoh. Terhampar semangkok besar nasi goreng dan empal, telor mata sapi, kerupuk udang dan berjenis buah segar. “Ayo Nibe, kok kamu diam saja?” kata Jeki berdencing di telingaku. Habis sarapan besar itu kami duduk dulu di ruang lobby sambil mengawasi gambar dan langkah langkah pengukurannya nanti. “Eh, Nibe engkau pernah santap cara priyayi kraton?” bisik Jeki dekat telingaku. Aku mengernyitkan alis. “Dengar saja baru sekarang” jawabku. “Apakah beda dengan orang biasa?” tanyaku. “Yah sedikit ada, terutama cara menikmati cita rasanya” jawab Jeki perlahan. “Mengapa mesti berbeda?” jawabku. “Mungkin persepsi mereka tentang hidup ini agak berbeda dengan kita” jawab Jeki. Agak lama terdiam seakan Jeki memberi kesempatan kepadaku untuk bertanya. “Apakah itu perlu untukku?” tanyaku agak keras dengan muka keruh. Jeki memandangku lama lama. Dia mengerti perasaanku selama ini sedikit minder. Didekapnya aku dari belakang. “Jangan begitu Nibe, sayang. Kita sebagai pemula harus luas pandangan, sehingga kita mampu menerangi banyak kegelapan” kata Jeki sambil mengelus rambutku. “Menerangi banyak kegelapan?” bisikku. “Yah, Nibe masih banyak kegelapan di sekitar kita yang sangat perlu diterangi” kata Jeki perlahan dan elusan tangannya diatas kepalaku kunikmati. “Kamu kok bisa bicara seperti itu dari mana?” bisikku  “Dari Kapten” jawabnya. “Kedengarannya indah sekali Jeki. Engkau semakin menarik saja. Suatu saat kita perlu bicara banyak.” Kini kita bekerja oke?” kataku sambil merangkul pinggangnya. Dan kami berjalan bersama keluar. Pekerjaan pengukuran kita selesaikan 2 jam. Pertama ditentukan garis Utara selatan dengan cara satu patok ditancapkan di tengah tengah lapangan. Kompas disetel di atas meja kecil. Setelah main, seutas tali panjang yang terikat pada patok dibuat sejajar dengan arah kompas dan patok kedua ditancapkan. Maka garis utara selatan didapatkan. Baru titik titik dalam gambar diterapkan di lapangan sesuai ukurannya. Jeki memegang ujung meteran. Terlihat matanya berkilat kilat karena senang. Rupanya memang dia tidak pernah melihat maupun bekerja seperti ini. Akhirnya pekerjaan selesai. Dari berbagai sudut kami lihat apakah ada yang kurang. Jeki terus mengikutiku dengan setia dengan gayanya yang khas petentang petenteng dan pandangan matanya yang tajam meneliti setiap jengkal tanah yang akan dibangun. “Cukup Jeki, pengukuran selesai” kataku sambil berdiri didekatnya. “Kapan dibangunnya?” katanya. “Besok pagi” jawabku. Tiba-tiba Jeki menangkap tanganku. “Yah kini saatnya, mana gajiku?, yang hebat dan istimewa itu” katanya. “Ini di dalam ransel nanti kita buka di atas sana” kataku sambil menunjuk di atas bukit. Kami berjalan naik bukit sambil bergandengan tangan. Oh, ... betapa indahnya. Mesti nafas ngos-ngosan akan tetapi kami tidak payah sama sekali hanya ketawa, dan saling goda sana goda sini, cemberut sedikit ketawa lagi dan lagi, oh, betapa indahnya  hidup ini bersama kekasih, kulihat raut muka Jeki penuh dengan butir-butir keringat bagai intan permata, wajah yang cantik manis itu, senyum yang tak pernah lekang dari wajahnya, oh, mengapa Tuhan mempertemukan kami, ada apa dibelakang ini semua, teruskah persahabatan ini, oh, Tuhan jangan pisahkan kami, ataukah hanya sementara? Oh, betapa sedihnya nanti kalau kami harus berpisah, teringat itu aku berhenti dan kupandangi wajah Jeki lama-lama, rupanya diapun merasakan hal yang sama, kupeluk dia dan kucium dan kuremas rambutnya dengan mesra sementara dia mencium dadaku, terus jalan lagi, ke atas bukit yang terjal akan tetapi sangat indah itu, kami berjalan dan mendaki penuh semangat.
Akhirnya kami sampai ke puncak bukit itu di sana dibangun pondok kecil dari batu, disekitarnya dibuat taman bunga yang indah. “Ini juga punyamu Jeki” dia mengangguk, kami duduk diatas rumput saling membelakangi dan saling tempel di punggung, kurasakan kehangatan tubuhnya dan helaan nafasnya yang masih tersengal-sengal. “Jeki ... dengar... bisikku... engkau yang cantik, manis, sehat, tegar, pandai dan kaya, dan lain-lain mengapa harus berteman denganku orang miskin, terlantar dan tak layak ini, mengapa Jeki?” gumamku sambil menatap tanah. Dia tak segera menjawab. “Jawab Jeki!” kataku, setelah dia membisu, sementara nafasnya yang tersengal-sengal sudah mulai reda. “Perlukah dijawab Nibe?” katanya, aku mengangguk. ”Itulah Nibe ... yang sering aku khawatirkan tentang dirimu, sifat-sifat yang baik yang kudambakan hampir ada semua padamu, akan tetapi engkau kurang menyadarinya , malah engkau seakan lebih mengagumi kekayaan dan harta benda, yakinlah Nibe bahwa kekayaan dan harta benda setiap saat bisa hilang, akan tetapi sifat baik akan tetap tinggal, tidak bisa dicuri, tidak bisa hilang begitu saja, banggalah engkau akan dirimu, engkau di karuniai sifat unggul yang tak ternilai harganya, (dia diam sebentar lalu) ijinkanlah aku menjadi sahabatmu ... Nibe, jangan pernah tinggalkan aku ... Nibe ...” kini sungguh-sungguh hatiku runtuh, kami berpelukan erat sekali seakan tidak mau lepas lagi, aku sungguh tersentuh sampai air mataku meleleh, demikian pula Jeki menangis tersedu-sedu di dadaku, di saat lain “Sudahlah Jeki, kita kesini bukan untuk bertangisan” bisikku, Jeki mendongak dan cepat berdiri dihapusnya air matanya dengan tangannya, juga air mataku. “Hei ... kamu juga bisa cengeng ... Nibe?” katanya sambil tertawa meski mukanya masih basah oleh air mata. “Ayo ... kita buka gajiku yang hebat dan istimewa itu!” katanya berdencing penuh ceria, “Ayo kita kesana” kataku sambil menarik tangannya menuju pondok batu itu.
Ransel kumal itu kubuka kukeluarkan isinya yang berupa bekal makanan dari rumah yang terdiri dari 2 buah kotak dari Aluminium dan sebotol air bersih, mata Jeki bersinar-sinar mengawasi dengan seksama “Ayo Jeki ini gajimu ayo buka!” perintahku dengan senyum, dia memandangku dengan penuh tanda tanya dan segera dibukanya kotak-kotak itu dia terpekik “Nasi!” dan yang satunya lauk-pauk yang terdiri dari ikan teri goreng, bawang merah goreng, sambal pedas, kecap, kedelai rebus dan sayur hijau tanpa kuah/kulupan dari daun-daun di tegalan, suatu hal yang paradox dengan kenyataan di meja makan rumahnya, sugguh tak kusangka ternyata makanan itu tidak mengecewakan Jeki, dia berteriak-teriak dengan senangnya “Yah ... ini! ya... ini!! Yang kucari selama ini, kau masak sendiri Nibe?” tanyanya penuh antusias, “Habis siapa lagi” jawabku sambil tersenyum “Kau mau Jeki?” tanyaku agak khawatir “Pasti!, aku senang, ini makanan yang menantang!” jawabnya. Kami makan bersama berpiring daun hutan dan sendok juga dari daun hutan sungguh lucu dan menarik. Kami saling pandang dan penuh senyum bahagia sambil mengunyah makanan yang pedas dan lezat itu. Pada suapan yang kedua tiba-tiba Jeki menyela “Eh,...Nibe sebentar ini saatnya kita praktekkan santap cara keluarga Kraton ... mau?” tanyanya. Aku diam sebentar. “Oke tuan puteri oke hamba menuruti perintah tuan” jawabku dengan mimik serius. Membuat Jeki tertawa terpingkal pingkal. “Bagaimana caranya, tuan puteri? kataku sambil membuat sikap seperti pewayangan. “Nibe gombal, sialan kamu. Bukan begitu, ini  cuma cara makan” katanya sambil tertawa. “Kalau biasanya nasi sesuap sebesar ini, maka cara santap kraton kira kira seperempatnya. Demikian pula kalau satu teguk kamu setengah gelas maka kini cara kraton cuma seperdelapan gelas. Lalu kalau satu suap kau habiskan satu detik maka cara kraton harus 15 detik. Jadi lebih lama. Dan yang penting kita rasakan sungguh kelezatan dari makanan itu. Jadi tidak cepat cepat makannya, bagaimana?. Mengerti ?” kata Jeki. “Mengerti bu guru” jawabku. “Oh, gombal kamu ...” desisnya. Tapi Jeki terlihat sangat berbahagia hari ini. Terus terang aku kadang-kadang tidak percaya bahwa aku mengalami hal ini bersama Jeki. Mana mungkin selama ini hanya karung karung goni yang kupeluk dan kuangkat. Kini gadis cantik manis seperti Jeki. Oh, Tuhan bahagianya aku. “Eh, kamu melamun ya, ayo kita mulai makan bagai bangsawan kraton” kata Jeki sambil mengedipkan matanya. Memang kenyataannya benar. Sistem makan cara kraton itu jauh lebih nikmat rasanya. Kita bisa makan sambil tertawa, saling memandang, saling mengagumi dan cita rasa tidak terlalu cepat berlalu. Ini sebuah pengalaman bersama Jeki yang mana adalah sahabat dan kekasih, guru dan pengkotbah handal yang mampu membawa diriku pada suatu alam lain yang lebih indah yang belum pernah kujamah ...... oh, Tuhan bahagianya aku. Sehabis makan yang ternyata sangat menyita waktu itu kami istirahat di depan pondok. “Eh, Jeki bagaimana masalah kegelapan yang ada di sekitar kita?” kataku sambil tiduran di atas lantai batu itu berbantalkan tanganku. Tiba-tiba “Eh, Nibe ayo bangkit dulu terus tidur lagi.  Yah pintar kamu” kata Jeki di belakangku dan ternyata kepalaku jatuh di atas pangkuannya. “Eh, Jeki nanti kalau dilihat Kapten, mati aku” kataku berusaha bangkit lagi. “Tidak boleh, kau harus nurut, Kapten tahu kita” terasa rambutku di pegang dengan kuat sehingga terpaksa kepalaku tetap di pangkuannya. “Dengar Nibe, menurut Kapten, jadilah terang, jadilah garam dan jadilah ragi dalam hidup ini. Maka kamu akan dihargai orang” kata Jeki pelan akan tetapi sangat jelas di telinga. “Maksudnya kita dalam hidup ini harus selalu berusaha memberi penerangan di segala hal kepada sesama kita. Agar sesama yang lain tidak terjerembab ke dalam kesesatan, ke dalam kesedihan akan tetapi masuk kedalam kebenaran dan kebahagiaan. Maka untuk itu kita sangat perlukan banyak banyak pengetahuan dan banyak banyak pengalaman agar bisa menolong mereka. Meski hanya dengan perkataan” kata Jeki lagi sambil membelai rambutku. Bukan main indahnya. “Eh, Jeki aku pernah dengar itu dari temanku yang beragama katolik, Si hitam Carrulos, sebenarnya Kapten itu dari mana sih?”  tanyaku sambil menikmati hangatnya pangkuan dan elusan tangan Jeki. “Menurut cerita ibu, Kapten adalah potolan seminari tinggi di Kenthungan DIY. Karena tidak cocok berat dengan gurunya ialah masalah keyakinan kejawen, akhirnya Kapten keluar dari seminari dan berhasil menjadi anggota ABRI yang ditugaskan di Jakarta dan kawin dengan ibu” kata Jeki. “Dan ibu itu dari mana?” kataku. “Ibu itu anak kepala desa Desa Kenthungan DIY” kata Jeki. “Ooo ... makanya, mungkin waktu di seminari Kapten pacaran dengan ibumu bukan?” kataku. Jeki tidak menjawab. Kulihat dia memelototiku sambil mencengkeram rambutku kuat kuat. “Sialan kamu” desisnya. Tahu-tahu hari sudah sore aku ajak Jeki pulang. Kami turun bukit dengan bergandengan tangan. Sambil menyanyikan lag-lagu favorit barat yang kami gandrungi saat itu. Jelas yang sering kami ulang adalah LET IT BE ME nya terjemahannya kurang lebih sbb
I BLESS TO DAY I FOUND YOU
Aku bersyukur menemukanmu hari ini
I WANT TO STAY AROUND YOU
Aku ingin tinggal di sekitarmu
AND SO I BEG YOU, LET IT BE ME
Sehingga aku memohonmu biarlah itu untukku
EACH TIME WE NEED LOVE
Setiap saat kami membutuhkan cinta
I FOUND COMPLETE LOVE
Aku mendapatkan cinta yang lengkap
WITHOUT  YOU SWEET LOVE WILL  I BE
Tanpa cintamu yang manis apakah yang terjadi padaku
SO NEVER LEAVE  ME LONELY
Jangan pernah tinggalkan aku kesunyian
TELL ME YOUR LOVE ME  ONLY
Ceritakan hanya padaku cintamu
 
AND THAT YOU ALWAYS LET IT BE ME
Dan itulah kamu selalu untukku.

 

BIDADARI ITU DATANG LAGI KE RUMAHKU

Selama satu bulan penuh aku tidak mengunjungi Jeki di Selekta. Kami bertiga ialah aku, Carrulos dan Kardi Tj. mendiami rumah Pak lik di Bunulrejo. Sebab bisa belajar bersama untuk menghadapi ujian akhir STM. Jeki memaklumi hal itu. Dan dia juga menghadapi hal yang sama. Akan tetapi dia suatu hari datang ke rumah Bunul sambil membawa makanan dan buah buahan. Tepat saat Linda dan Rossa teman sekolahku mau pulang dari rumahku. “Terima kasih banyak ya ... Nibe. Suatu saat boleh kami datang lagi?” kata Rossa sambil mencium pipiku. “Silakan datang kapanpun, Rossa. Pintu kami selalu terbuka untukmu” jawabku. Sementara kulihat Jeki berusaha melihat ke tempat lain. Kehadiran Jeki selalu memberi berkat yang luar biasa padaku. Dia mampu memberi spirit dan pandangan yang benar pada kami. “Kau harus berhasil dalam pelajaran ini. Bukan lulusnya lho tapi kamu harus mampu menyerap ilmunya” katanya berapi api. “Mengapa bukan lulusnya?” kataku. “Ah kau Nibe, bagaimana bisa menjadi terang kalau kau hanya lulus saja akan tetapi tidak menghayati ilmunya” katanya dengan senyum kekanak kanakan yang menggemaskan itu. “Iya Jeki, tadi Nibe berkata pokoknya kita harus lulus apapun yang terjadi, terus kerja, terus menabung, terus keliling Indonesia, terus pacaran terus..., terus...., terus... dan lain lain” kata Kardi Tj. dengan lucunya sehingga kami tertawa terpingkal pingkal. Setelah reda Jeki mendekatiku. “Engkau berkata itu Nibe?” kata Jeki sambil mengelus pundakku. “Iya Jeki akan tetapi kini aku lebih tertarik dengan pandanganmu” kataku sambil terus menulis. Terasa Jeki tetap didekatku dan memandangku lama lama. Aku menengok dan membalas memandangnya. “Engkau memang terang dalam hidupku, terima kasih, Jeki” Kataku sambil merangkul dan menciumi pinggangnya. “Eh, Nibe gila kau aku geli nih” katanya sambil meronta. “Habis kamu menggemaskan sih” jawabku sambil tertawa. Terlihat muka Jeki merah padam. Sementara kulihat Carrulos dan Kardi Tj. telah raib keluar. Yah mereka tahu diri. “Eh, Nibe ada kabar baik ini, taman kita sudah selesai, kapan kamu ke sana?” kata Jeki dengan matanya bersinar sinar senang. “Eh, kapan baiknya ya ... bagaimana kalau sehabis ujian” kataku “Oke, itu tepat!” jawab Jeki. “Biasanya ada tugas kontrol terakhir, maksudnya mungkin kalau si empunya masih kurang ini dan itu. Meski tidak ada tugas itu kau harus datang, Nibe” kata Jeki .
Sejak kehadiran Jeki yang pertama rumah itu telah kubersihkan dari segala kotoran. Aku cat pintu dan jendelanya. Aku kapur semua dindingnya. Aku rombak kamar kecilnya. Aku bangun taman kecil di sisa tanah. Kamar tidur dan kamar belajar aku rapikan dan bersihkan. “Kini semua berubah Nibe, mengapa?” kata Jeki dengan mata bersinar sinar. “Mengapa? Bukankah engkau pernah bercerita bahwa setiap kehadiran bidadari pada suatu tempat, maka tempat itu akan menjadi  seperti di surga” jawabku pelan tapi jelas. Tiba-tiba kulihat mendung di mata Jeki. “Eh, siapa bidadari itu, Nibe?” kata Jeki dengan pandangan curiga. “Eh, siapa ya?” jawabku agak malas. Kegusaran terlihat dimuka Jeki. “Rupanya rumah ini sudah sering kedatangan bidadari, ya Nibe?” kata Jeki sambil melihat keluar. Terlihat mukanya merah padam. Aku maklum dia tersinggung dengan jawabanku yang asal saja itu. Aku bangkit dan berdiri dimukanya. “Perlukah aku sebut nama bidadari itu?” tanyaku. “Kalau engkau keberatan tidak usahlah” jawabnya sambil memalingkan muka ke tempat lain. “Mengapa keberatan, Jeki?” kataku lagi “Lihatlah aku  Jeki, lihatlah mataku, ada apa kiranya denganmu” aku berkata pelan. “Aku ini bagaimana Nibe? Banyak yang cerita bahwa engkau ini pandai merayu gadis. Banyak yang intim denganmu. Aku harus bagaimana aku ini..... harus bagaimana.... Nibe?” kata Jeki kesal. “Oh, mungkin kau cemburu dengan Rossa tadi ... ya? Dia  juga pindahan dari Jakarta seperti kamu. Teman sekelas kami, cuma dia mengambil Sipil Kering dan Arsitektur”. “Kok  ... pake .... cium cium segala?” kata Jeki hampir menangis. Segera Jeki kupeluk. Dia meronta akan tetapi tetap kupeluk. “Dengar ... Jeki sayang .... dengarlah aku ...” kataku. “Bukankah katamu sendiri .... di Jakarta itu adalah hal yang biasa?“ kataku sambil menatapnya dekat dekat. Kulihat perlahan lahan mendung itu berlalu dari wajahnya dia mulai tersenyum meski mukanya masih merah padam. “Oh, Nibe engkau selalu membuat aku penasaran. Lalu siapa bidadari itu?” kata Jeki. “Tentu saja kamu” jawabku. Pelukanku kupererat. “Oh, Nibe kamu nakal ah ... “katanya tidak sempat diteruskan sebab keburu bibirnya yang menantang kulumat dengan mesra. Entah berapa lama kami berciuman tiba-tiba  terdengar suara langkah Kardi Tj. dan Carrulos datang. “Pokoknya kita makan besar hari ini, Los ciiuii” terdengar suara Kardi Tj. yang lucu itu. “Memangnya, awas kalau menipu?” jawab Carrulos. “Eh, dengar Los, Jeki tadi membawa ayam goreng 2 ekor dan buah apel satu keranjang hebat kan?” kata Kardi Tj. lagi. Sementara aku dan Jeki saling pandang dengan mesra. “Jangan tinggalkan aku, Nibe” bisiknya. Aku tidak menjawab. Hanya pelukan itu kupererat dan tepat pintu dibuka kami sudah duduk di kursi masing masing. “Ini sudah jam 12.00 ayo siapkan makan siang, Di” kataku. “Oke, boss” jawab Kardi Tj. sambil membuka lemari makan. Makanan asli seperti yang kunikmati bersama Jeki di puncak bukit itu terhidang di tambah ayam goreng dan sambalnya diatas nampan dan sekeranjang apel besar besar di atas meja makan. Mata Carrulos dan Kardi Tj. berkilat kilat karena senang sebab jarang sekali mengalami seperti ini. Doa makan dipimpin Carrulos. “Pake doa katolik boleh ya?” kata Carrulos. “Silakan” jawab kami bertiga hampir bersamaan. “Berkatilah kami dan segala makanan yang kami terima hari ini ya ... Bapa. amien”. Ternyata Jeki lebih memilih ikan teri goreng, bawang merah goreng dan sambal pedas atau sambal bajak dari pada ayam goreng yang dibawanya dan dalam waktu relatif singkat semua hidangan ludes. “Eh, ini kasihan  aku bawa pulang ya Nibe?” kata Jeki sambil membungkus sisa sambal bajak, ikan teri goreng dan bawang merah goreng dengan kertas. Untuk apa Jeki ?” tanya Carrulos. “Untuk contoh, agar Mbok Yem bisa membuatkan untukku” jawab Jeki sambil tertawa.

VISI HIDUP YANG UMUM DAN VISI HIDUP YANG SEHAT


Minggu pagi jam 10.00 aku dan Carrulos datang di Selekta. Sebenarnya badanku masih kepayahan sebab hari sabtu bekerja keras menurunkan beras di gudang Liem Jing Hun 2 truk gandeng bersama Carrulos dan Kardi Tj., akan tetapi karena mendapat tugas dari bos untuk mengadakan pengamatan akhir atas bangunan di Selekta, maka aku lakukan juga. Tidak seperti biasanya terlihat tiga Jeep dan empat sepeda motor di muka rumah Jeki dan di lobby berdiri dua pengawal dalam pakaian doreng berdiri tegak dengan senjata pistol di kiri dan kanan pinggangnya. Seperti cowboy saja pikirku. Mereka segera mendatangiku begitu aku memijat bel gapura. “Ada perlu?” katanya singkat. “Ada surat untuk Pak Kapten” jawabku sambil menyerahkan surat padanya. “Tunggu” katanya terus balik bawa surat ke lobby. Lama juga aku menanti di gapura. Ada apa ya ... pikirku sambil mengawasi bangunan bangunan yang baru selesai di sekitar rumah. “Nibe…!!” tiba-tiba terdengar suara Jeki di kejauhan.  Dia berlari lari mendapatkanku. “Ada rapat penting , ini baca , ayo kita ke kebun apel di belakang” kata Jeki sambil menyerahkan sehelai kertas padaku. “Laksanakan nanti setelah jam 2.00 siang” tertanda Kapten.  ini agak serius pikirku. “Ada apa Jeki sebenarnya?” kataku sambil menahan langkahnya. “Ini untukmu saja ya? anak buah Kapten gugur 3 orang di daerah Banyuwangi. Kapten lagi nerves hari ini” bisik Jeki, terus kami berdua berlarian lewat jalan pintas menuju kebun apel yang dibangun sendiri oleh Jeki, Kapten dan ibunya. Kami petik apel terbesar 2 buah dan kami makan berdua di atas bangku beton. Kebun ini kira kira 0,5 Ha luasnya. Tanahnya merupakan empat trap yang mana tiap trap berbeda ketinggiannya setinggi 5 m yang dihubungkan dengan jalan trap/ tangga dari pasangan batu kali. Dan tanahnya dibuat terassiring dengan kemiringan 30 derajat yang ditanami rumput Kolonjono, kebun itu dikelilingi pagar batu merah setinggi 1 m dan 1 pintu besar yang terbuat dari plat baja. Ada kolam ikan yang dibuat dari pasangan batu kali bentuk bujur sangkar seluas 900 m2, melintang di atasnya jembatan beton selebar 0,5 m dan ditengah tengahnya dibangun pondok dari kayu dengan atap dari ijuk. “Untuk mancing. Kapten salah satu hobbynya adalah memancing. Aku juga” kata Jeki sambil mengunyah apel. “Tugas seorang militer itu berat ya Jeki, sewaktu waktu bisa mati. Bagaimana engkau menanggapi ini?” kataku pelan. “Eh, kamu ini Nibe, siapapun harus siap untuk kesana. Tiap saat, tiap detik, tidak hanya anggota ABRI, akan tetapi kita semua, yang penting dalam hidup ini kita punya visi yang sehat. Maka apapun yang akan terjadi suatu saat bukanlah masalah yang harus disesali, akan tetapi justru saat yang kita terima dan syukuri” kata Jeki dengan pelahan tapi tegas. “Jeki ... Jeki ... engkau ini sungguh hebat .... apakah ini juga dari kapten?” Kataku sambil meremas tangannya gemas. “Tentunya ... iya ... dan yang hebat tentunya Kapten ...   bukan aku? jawabnya dengan senyum bangga. Eh, lalu bagaimana dengan visi hidup yang sehat itu?” kataku dengan penuh antusias. Dia diam saja terus bangkit dan memutar tubuhnya seperti menghilangkan kepayahan dan berjalan meinggalkanku. Aku bangkit mengikutinya. “Eh, Jeki ... engkau ini bagaimana  .... ditanya kok malah ...” kataku. Baik Nibe kita bicara sambil jalan jalan, indah bukan?” jawabnya. “Kau ini tidak mengerti atau ngetest aku” katanya sambil mengerling padaku. “Sumpah Jeki aku ini belum mengerti, please dong ...!” kataku sambil memeluknya. Tiba-tiba dia berhenti dan balik kanan dan langsung menatapku tajam. “Ini lagi yang aku kuatirkan padamu” katanya sambil meraba wajahku. “Apa?” kataku juga langsung berhenti karena kaget. “Kata Kapten kita semua tidak layak bersumpah sebab sebenarnya semua yang kita punyai ini adalah milik Tuhan, termasuk jiwa kita. Sumpah adalah kesombongan.  Sesuatu  yang sangat riskan, yang menunjukkan bahwa kita ceroboh jadi sejak sekarang janganlah engkau bersumpah. Meski itu untuk hal yang kau yakini benar, ya Nibe? aku meminta padamu” kata Jeki serius sambil memandangku lama.“Oya Jeki ... terima kasih” jawabku keheranan. “Sebab, kata sumpah di kalanganku sering dibuat sebagai mainan dan ungkapan tekanan yang cenderung untuk menipu orang. Kini aku harus berhadapan dengan orang yang mampu memberi arti yang lain yang terasa lebih benar tentang kata sumpah. Sungguh aku bersyukur. Sebaiknya kita ini harus  bagaimana kalau sumpah tidak layak” kataku selanjutnya. “Katakan ya kalau itu benar, dan katakan tidak kalau itu tidak benar, dan apabila jawabanmu akan menimbulkan sesuatu yang lebih berat maka berdiamlah. Kau berhak menolak untuk menjawab. Jadilah orang yang apa adanya maka engkau akan menjadi orang yang terselamatkan” jawab Jeki sambil tersenyum. “Eh, kau ini jadinya lain, bagaimana tadi itu Jeki visi  yang sehat” kataku lagi sambil mengikutinya berjalan. “Oh itu ... banyak orang yang umumnya mempunyai visi bahwa hidup di dunia ini tujuan utama ialah Makutho, Bondo lan Wanudyo arti yang sederhana ialah Makutho berarti kekuasaan, Bondo berarti kekayaan dan Wanudyo berarti kesenangan. Jadi sepanjang hidupnya mereka berjuang untuk itu. Yang mana seringkali beresiko ialah cenderung  jauh dari Tuhan. Sungguh kasihan, sedangkan Tuhan tidak berkehendak seperti itu” kata Jeki dengan raut muka sedih sementara. “Hal itu kan sudah biasa dan umum” kataku. “Kita harus hati-hati dalam hidup ini Nibe...., kita harus mengerti dan yakin apakah langkah kita ini benar atau menyimpang dari hal yang benar, sebab langkah yang salah akan membawa kepada kebinasaan. Sesuatu yang sudah umum bukanlah sesuatu yang dijamin benar sebab kita ini dibekali oleh ketentuan ketentuan yang tidak bisa kita tinggalkan menyangkut kehidupan kita” kata Jeki dengan serius. Tidak pernah aku berhadapan dengan orang yang relatif masih muda yang  mampu memberikan penerangan sebegitu jelas dan tajam menyangkut kehidupan ini. “Hai Jeki apakah ketentuan-ketentuan yang tidak bisa kita tinggalkan itu .....?” tanyaku dengan serius, dia memandangku lama-lama dengan senyumnya yang khas itu “Sungguhkah kau tidak mengerti?” tanyanya balik.
”Engkau tahu siapa aku Jeki ... yah aku memang belum tahu hal itu” jawabku serius, dia tidak langsung menjawab, dia duduk di tepian kolam, kakinya yang indah itu masuk kedalam air, ikan-ikan Koi yang besar berwarna-warni datang dan bergerombol disekelilingnya “Lihatlah ... Nibe mereka begitu jinak padaku karena mereka tahu siapa aku” katanya dengan senyum yang selalu ada pada bibirnya. Aku duduk didekatnya dan memasukkan juga kakiku kedalam air itu. Segera ikan ikan itu menghindar dan menjauh meski tetap melihat pada kami dari suatu jarak yang aman. Jeki melempar remah roti yang tersedia di tepian kolam. Ikan ikan segera berebut melahapnya. Setelah habis aku ganti melempar segenggam roti ke arah ikan itu. Mereka segera menghindar dan tidak mau memakannya, aku keheranan. “Lihatlah Nibe mereka belum kenal engkau” kata Jeki sambil tertawa. “Akan tetapi jangan cemburu, nanti kalau kau sering kesini mereka akan mengenalmu dan tidak takut denganmu” katanya sambil tersenyum. Kini terlihat hanya ikan ikan kecil yang mau memakan remah roti itu, sedangkan yang besar menghindar. Aku  memahami binatangpun mengerti arti  pesahabatan. Aku teringat waktu masih di desa, kambing kambing mengenal suaraku meski dari kejauhan. Mereka segera datang apabila aku memanggilnya. “Jeki mohon jawablah pertanyaanku  tadi” kataku sambil meremas jari jemarinya. “Oh, kau Nibe aku senang engkau itu jujur dan sederhana ketentuan ketentuan itu adalah bahwa hidup kita ini punya arti, mempunyai fungsi dan mempunyai tujuan. Yang mana kita semua tidak akan lepas dari ketentuan ketentuan itu. Jadi seharusnya tidak boleh sia-siakan hidup kita yang relatif singkat ini. Sampai saatnya kita harus kembali ke Hadirat Tuhan” kata Jeki perlahan. Sepertinya dia juga merasakan kata-katanya masih sulit dipahami olehnya sendiri. “Jeki, terus uraian arti fungsi dan tujuan hidup itu bagaimana?” kataku menyambung. Dia bangkit dari duduknya dan kami berjalan bergandengan tangan dengan kaki telanjang di atas rerumputan. “Sekarang ganti kamu yang omong, bagaimana pendapatmu tentang arti, fungsi dan tujuan hidup ini” kata Jeki sambil meledekku dengan senyumnya. Aku terkesiap kaget tidak menyangka Jeki berkata itu. Aku diam saja. “Ayo Nibe, jawab!” katanya sambil menggoncang goncangkan bahuku. “Terus terang aku masih gelap dalam hal ini, aku menghayati hidup ini seperti yang umum dirasakan orang; yaitu Kekuasaan, Kekayaan dan Kesenangan, sebab secara nyata aku melihat orang dihargai di masyarakat karena kekuasaan dan kekayaannya. Sementara di hati kecilku mengatakan ada sesuatu yang kurang pas dalam hal ini” jawabku dengan kata kata tersendat. “Itulah Nibe yang aku senangi pada dirimu. Engkau jujur apa adanya. Meskipun terkadang konyol dan menggemaskan” kata Jeki  dengan matanya yang bersinar sinar. “Percayalah Nibe bahwa perkataan orang itu menggambarkan sebagian yang ada dalam hatinya. Hanya terkadang kurang jelas dan itu perlu dibantu oleh orang lain. Secara eksplisit beberapa sumber mengatakan bahwa arti hidup ini rangkaian dari perjuangan dan perjuangan atau masa puasa, sedangkan fungsi dari hidup ini adalah pengabdian. Kita sebagai murid, sebagai guru, sebagai pekerja dan lain lain haruslah menjalankan fungsi sebaik baiknya. Dan tujuan dari hidup ini secara kerohanian adalah kita dari tanah kembali ke tanah dan jiwa kita dari Tuhan akan kembali ke Tuhan” jawab Jeki sambil berjalan disampingku. “Makanya  Kapten pernah mengatakan kalaulah keseluruhan visi hidup kita hanya demi kekuasaan, kekayaan dan kesenangan, itu konyol namanya. Hidup kita akan terlalu berat karena kita juga dikaruniai kecenderungan ke yang jahat” kata Jeki dengan ringannya. Langkahku terhenti karena kaget bukan main. Kami berpandangan lama, seakan baru kali ini aku melihat Jeki, begitu menakjubkan. “Kecenderungan yang jahat” bisikku. Dia mengangguk. “Suatu saat aku ceritakan padamu” bisiknya juga. “Sedangkan visi hidup yang sehat ialah keseluruhan hidup kita di dunia ini adalah latihan atau perjuangan agar kita siap nantinya kalau sewaktu waktu dipanggil Tuhan untuk hidup di akhirat dan harta benda dan lain lainnya hanyalah merupakan pelengkap agar hidup kita di dunia lebih layak untuk ukuran manusia” kata Jeki sambil melenggang pelan disampingku. “Maka orang yang bervisi yang sehat dalam hidupnya, hidupnya akan ringan dan berbahagia. Tidak takut akan kematian, tidak takut dengan perpisahan tidak takut hartanya hilang dan lain lain” kata Jeki. Memang segala kata katanya sangat sederhana akan tetapi merupakan ledakan-ledakan dahsyat dalam diriku. “Jeki ini juga dari Kapten?” bisikku, “Iya, dari mana lagi?” katanya sambil menengokku  yang sedang geleng geleng kepala karena keheranan. “Kaptenmu  itu memang hebat akan tetapi mengapa katamu tadi nerves juga?” kataku pelan. “Oh, kamu ini Kapten itu hebat akan tetapi kau harus mengerti, Kapten itu juga manusia biasa jadi umpama dengan kejadian itu dia tidak apa apa maka itu berarti tidak wajar. Kapten merasa bertanggung jawab atas keselamatan anak buahnya dan merasa gagal dalam misi yang diembannya. Memang hal ini tidak pernah terjadi sebelumnnya selama 10 tahun masa kerjanya. Makanya sekarang dia mengadakan rapat dengan beberapa perwira sejajarnya dan beberapa anak buah andalannya. Mungkin mengapa hal itu bisa terjadi dan bagaimana mengantisipasinya, agar kelak tidak terjadi lagi” kata Jeki pelan-pelan. Aku baru mengerti sekarang betapa berat tugas Kapten sebagai perwira intel dalam tubuh ABRI. Kami berdua duduk di bibir kolam lagi. Masing masing diam terenggut dalam jalur pikiran masing-masing. Tiba-tiba Jeki memecah kesepian.

LUKA DALAM


“Eh, Nibe bagaimana sekarang kalau kita main Dampar seperti kanak kanak dulu” katanya sambil tertawa-tawa. Aku sebenarnya kurang setuju sebab badanku masih payah, akan tetapi karena yang minta gadis secantik dan semanis ini siapa yang mampu menolak. “Ayo ...” ajakku dengan bersemangat demi menyenangkan hati kekasih. Kami masing-masing mencari batu bulat gepeng untuk di jadikan Gaconya. “Kau mampu mangalahkan aku?” kata Jeki dengan tertawa senang. “Mengapa tidak, lelaki harus selalu menang dari wanita” jawabku. “Uh engkau sombong ; awas aku kalahkan engkau nanti” katanya ketus. Jeki selalu bersemangat dalam segala hal termasuk main dampar. Waktu membuang gacoku dengan engklek / berjalan satu kaki dia naik 3 trap dengan ringannya. “Bagaimana?” katanya. “Oh, itu kecil ...” jawabku meski kini kulihat mukanya memerah menahan payah. Naik lagi 3 tangga trap terus naik bukit kecil sampai pada jembatan yang hanya satu kayu berukuran 12 cm. Dia terus menyeberang dengan ringannya dan berhenti di sebuah batu besar. Kulihat Jeki sungguh sungguh kepayahan. Dia duduk diatas batu menantiku untuk menyeberang. Melihat sungai itu begitu dalamnya, kira kira 10 m aku ragu ragu. “Ayo Nibe ... kesini!” teriaknya. “Aku tidak berani” jawabku. “Nibe, konyol kamu! ayo ke sini ...” katanya lagi dengan kesal. “Aku takut kayunya patah” kataku terus duduk di rumputan. “Nibe, gila kamu!  kok malah duduk” teriak Jeki dengan kesal. Dia terus berlari menyeberangi jembatan kayu untuk mendapatkanku. “Ayo Nibe ... ini gacomu dari sini saja kau kembali” katanya dengan muka merah padam. Batu itu kuterima dan aku berusaha engklek. Akan tetapi karena payah batu gaco itu jatuh dan berarti aku kalah. Tiba-tiba Jeki berteriak “engkau curang, ayo pasang lagi!” katanya. Batu gaco kupasang lagidi atas ujung kakiku dan aku berusaha engklek lagi. Akan tetapi batu itu jatuh lagi. “Sengaja kau jatuhkan, bukan? Engkau curang,  Nibe” kata Jeki marah-marah. “Sudahlah

Jeki aku kalah” kataku. “Tidak bisa ..... tidak bisa mengapa tadi kau katakan ....oh, itu kecil, ayo pasang lagi!”. katanya dengan marah. Aku tertawa tergelak gelak karena merasa lucu melihat Jeki marah-marah, “Eh, Jeki.... kan aturannya kalau gaco jatuh berarti aku kalah, kan?” tanyaku. “Iya ...tapi mengapa kau tadi selalu mengatakan “ oh itu kecil...... itu kan berarti kau bisa melebihiku, kau curang Nibe!” katanya dengan merah padam mukanya. “Ya sudah .... aku curang dan kalah” kataku sambil senyum. “Tidak bisa...,  tidak bisa ... kau harus menyelesaikan yang aku buat, harus ...?” teriaknya. “Kalau tidak?” kataku. “Kau harus dihukum ...?” katanya. “Dihukum apa?” jawabku. “Ya harus mengerjakan yang aku kerjakan tadi atau kalau tidak kau harus dihukum timpuk” kata Jeki berapi-api. Aku heran beberapa saat dia begitu mesra lalu tiba-tiba kini dia bisa begitu marah. Aku lupa Jeki kalau sudah menjadi kemauannya maka sulit dihentikan. “Aku payah nih, Jeki, ayo kita pulang saja” kataku. “Tidak bisa ..., tidak bisa..., tidak bisa... Nibe kalau kau pulang aku timpuk kau..!” teriak Jeki dengan marah. Aku buat sikap sempurna dan hormat pada Jeki terus balik kanan jalan dengan langkah tegap dan tinggalkan Jeki. “Nibe..., konyol kau ..., jahat kau! .... aku timpuk kau Nibe..!” teriaknya, tapi aku sudah tidak mengindahkannya. Aku cuma menghitung. Satu, dua, tiga, langkah tegap itu, prok, prok, prok ... tiba-tiba punggungku terasa meledak ditimpa batu dengan kerasnya. Aku jatuh terduduk, mataku berkunang-kunang dan nafasku sesak dan pandanganku gelap. Aku berusaha bangkit akan tetapi tidak mampu. Terdengar jerit jerit Jeki sayup sayup. Setelah itu aku tidak sadarkan diri. Entah berapa lama aku pingsan, sayup sayup terdengar orang menjerit jerit tidak hentinya; dadaku terasa hangat ... panas ..... terus panas dan terguncang dan huk ... aku muntah. Dalam pandangan yang  pudar aku mulai melihat, warna yang pertama terlihat adalah putih, lalu merah, ternyata yang kumuntahkan adalah darah segar. Aku mulai bisa bernafas lagi. Akan tetapi meski bisa melihat aku tidak mendengar apa apa. Jeki mendekapku dari belakang, kaosnya yang putih bersih penuh bercak darah. Kapten menempelkan tangannya kanannya pada dadaku sementara tangan kirinya memegang kepalaku. Terasa tangannya panas membara didadaku. Terlihat dia bicara padaku. Akan tetapi aku tidak mendengar apa apa, dia segera maklum. Ditekannya kedua sisi keningku dengan ibu jarinya. Dia memejamkan matanya sebentar. Tiba-tiba terdengar hiruk pikuk seperti suara keributan sehingga aku pejamkan mataku karena tak kuat. Setelah itu baru aku mulai mendengar dengan baik. Suara yang pertama-tama terdengar adalah isak dan tangis Jeki. Suara Kapten terdengar “dalam keadaan marah tenagamu psy mu meningkat dan itu berbahaya untuk orang lain. Sudah beberapa kali ini kuperingatkan, sudah berapa temanmu yang luka olehmu, kini kau harus menerima hukuman. Tenaga psy mu harus diambil.”. Tak lama kemudian ya... Kapten Jeki yang salah, hukumlah Jeki” jawab Jeki sambil menangis. Mendengar itu aku terkejut, itu karena kesalahanku, mengapa Jeki yang menanggungnya. Aku berusaha berkata dan bangkit akan tetapi tidak mampu. Aku harus bisa , aku harus bisa teriak batinku. Ya Tuhan ampunilah kami bisikku. “Ayo Jeki bangkit dan siapkan tenaga psy mu” kata Kapten dengan pandangan tajam. Jeki melepaskan pelukannya dariku. Dia bangkit berdiri tegak, kedua tangannya disilangkan di dadanya. Matanya terpejam. Tiba-tiba terasa hawa panas dari dirinya menerpa punggungku sehingga aku seperti tersembuhkan. Akan tetapi tak lama kemudian terasa hawa sangat dingin melumpuhkan menerpa dari muka. Ini. Tenaga psy Kapten. Aku teringat pesan Karyaman bahwa tenaga psy yang beradu akan menyebabkan benturan yang dahsyat dan salah satunya akan terlempar dan luka dalam. Betapa ngerinya aku teringat akan hal itu. Jeki tidak salah justru aku yang salah. Maka dengan segala daya aku harus menyelamatkannya, putusku. “Ya Tuhan hanya engkaulah yang bisa menyelamatkan kami, tolonglah kami ya Tuhan” bisikku. Sementara aku berusaha sekuatku untuk bangkit dan berhasil. “Kapten ... aku yang salah! .... Kapten ..... jangan ....!!” teriakku. Rupanya teriakanku menggoncangkan Kapten, tepat dia mengibaskan tangannya, aku berhasil bangkit dan berdiri sehingga akulah yang terkena pukulan jarak jauh itu. Aku dan Jeki terlempar kira kira 4 m jatuh terguling guling di atas rerumputan. Aku dan Jeki jatuh pingsan, setelah tersadar keajaiban terjadi, aku merasa lebih sehat, dari tadi hanya punggungku yang masih terasa sakit dan pedih luar biasa. Sebegitu Jeki sadar, dia langsung menubrukku dengan tangisnya “Nibe ... Nibe .... jangan mati ... Nibe ....” dia menggoncang goncangkan tubuhku. Aku membuka mataku dan tersenyum. Jeki terbelalak karena kagum dan terkejut. Dia tidak mengira aku sekuat itu. Biasanya yang terkena pukulan jarak jauh akan mati atau terluka dalam yang parah. Dia tidak ragu ragu lagi menciumiku di muka orang tuanya dengan tangisnya yang berderai derai. “Kau kena luka dalam Nibe, dari timpukan batu itu, mari aku lihat” kata Kapten menggema. Bajuku segera dibuka oleh Jeki dan terlihat memar berat membiru sebesar dua tapak tangan. Malam itu aku dipaksa Jeki untuk beristirahat di Selekta. “Dia tidak punya siapa-siapa di rumah Kapten” kata Jeki tidak lama kemudian. “Baiklah, Nibe beristirahat di rumah kita” jawab Kapten. Malam itu  kami tidur di kamar tengah yang luas luar biasa itu. Aku tidur di dipan dekat jendela, Kapten tidur di kursi besar di dekatku, terus ibu Jeki juga tidur di kursi besar menunggui Jeki yang ternyata juga kena luka dalam. Sementara aku tidur tengkurap dengan pulas. Tengah malam aku terjaga karena luka di punggungku terasa bagai terbakar. “Kini bagaimana ..... kau sendiri lupa bahwa kau juga sedang marah...., kini anak anakmu terluka dalam, kau harus hati-hati .... Pak”, terdengar kata ibu Jeki halus dan berwibawa. Terlihat Kapten sujud di depan ibu Jeki. Matanya terpejam dan badannya menggigil menahan rasa. “Maafkan aku ibu ..... aku khilaf. Aku sedang sedih...” kata Kapten dengan sedih. Ternyata Jeki juga terjaga melihat padaku, jari telunjuknya diletakkan pada bibirnya. Aku mengangguk. Kini terlihat kepala Kapten dalam pangkuan ibu dan menangis tersedu sedu, sedang ibu Jeki  mengelus kepala dan rambutnya. “Sudahlah Pak, ternyata Nibe tidak apa apa .... aneh juga ya” bisik ibu Jeki  berusaha meredakan hati Kapten yang duka. Kapten tegak sambil menyeka air matanya. Aku dan Jeki tersenyum bersama dan pura pura tidur lagi. Lama sekali tidak ada suara akhirnya kamar yang besar itu terasa mulai dingin oleh udara Selekta. “Nibe memang luar biasa kuat, akan tetapi hatinya yang lugu dan bersihlah yang menyelamatkannya memang ilmu ini tidak berdaya untuk orang yang hatinya bersih” terdengar lagi suara Kapten. “Yah ..., kita bersyukur bahwa dia tidak cedera” sambung ibu Jeki .

 

ANJING SETIA SAMPAI MATI

Malam itu aku baru tahu bahwa Jeki mempunyai peliharaan anjing kampung berwarna hitam legam mengkilat dan coklat muda yang bernama black dan brown. Segera aku teringat akan kumbang yang berbulu hitam mengkilat, brino yang berbulu coklat kemerahan dan yaguar yang berbulu doreng hitam putih. Anjing kesayanganku di desa setiap hari membantu menggembala kambing dan menjaga rumah dan tanaman di kebun. Sayang ketiga anjing itu kini telah tiada. Kedua anjing Jeki itu memandang kepadaku dengan mata yang buas, terus menerus mengeram mengelilingiku sambil memperlihatkan taringnya yang besar dan putih. Sementara aku yang sudah biasa bergaul dengan anjing tidak takut sama sekali, kupandangi dia lama lama kusebut namanya dan kuberi beberapa makanan kecil. Setelah beberapa jam kemudian terlihat kedua ekornya mulai bergoyang-goyang. Itu berarti dia sudah mau menerimaku, dia diam saja setelah kuelus kepalanya. Beberapa jam kemudian mereka  sudah akrab denganku. Jeki bukan main herannya setelah 3 hari kemudian aku sudah sehat dan berlari pagi dengan mereka. “Hei .... Nibe kau apakan Black dan Brown?. Kemarin mereka masih memusuhimu” kata Jeki dari balik jendela. “Oh, tenang Jeki mereka sudah menjadi teman akrabku” kataku sambil mendekatinya. Jeki melompati jendela dan kutangkap dengan sigap. ”Selamat pagi tuan puteri ..” kataku. “Pagi, Nibe” jawab Jeki sambil mencium tipis pipiku. “Kita lari pagi  ... yok” ajaknya. Jeki kuturunkan dan tak lama kemudian kami berdua berlari dengan santai lewat jalan hantar yang berkabut mengelilingi bukit. Brown dan Black mendahului kami sambil menyalak nyalak dengan senangnya. Di tengah perjalanan kami berpampasan dengan segerombol ibu ibu dan bapa bapa yang berjalan santai sambil bercakap cakap dan guyonan. Ternyata ibu dan ayah Jeki ada diantara mereka. “Masyaallah Pak ... itukan Nibe dan Jeki aku kira mereka masih sakit” kata ibu Jeki dengan menebah dada. “Hai, anak anak hati-hati !” teriak Kapten. ”Ya ... Kapteen ...” sambut kami sambil melambaikan tangan. Jalan semakin menanjak, nafas kami mulai memberat dan akhirnya kami melihat di kejauhan pada puncak tanjakan di mana di sana dibangun gardu pandang yang terbuat dari pasangan batu kali yang  masih diselimuti kabut tebal. “Ayoh kita balapan Nibe sampai gardu pandang sana” kata Jeki. Badanku sebenarnya belum sehat benar akan tetapi siapa yang mampu menolak ajakan seorang bidadari yang cantik manis ini pikirku. “Ayoh apa hadiahnya”  tanyaku. “Yaah, nanti saja kuberikan” kata Jeki sambil mengerlingku. “Tapi kalau engkau yang kalah aku gendong, ya?” kata Jeki . Aku diam sebentar. “Berani ndak, Nibe ?” kata Jeki lagi. “Aku berani tapi gendongnya kalau sudah sembuh betul” jawabku sambil nyengir. Jeki memandangku agak lama, rupanya dia mengkuatirkan kesehatanku. “Ya sudah kita tunda dulu balapannya bisiknya sambil meraba keningku. Kau kelihatan masih sangat pucat Nibe? Kau masih kuat jalan sampai sana kan?” bisiknya lagi. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum pahit. Mata hati wanita begitu jeli yang sering kali mampu melihat orang lain. Sampai di gardu pandang kami duduk berdempetan saling peluk di pinggang di kursi panjang yang terbuat dari Dolken kayu jati. “Kita istirahat dulu, Nibe” kata Jeki. Kami terdiam beberapa saat terpesona oleh pemandangan indah dari  bukit bukit  yang hampir semua terlihat di sekitar Selekta. “Nibe, selama ini hanya aku yang cerita. Kini ganti kau dong ...“ kata Jeki sambil mengelus tanganku. Aku menarik nafas panjang. “Jeki tidak ada yang menarik dalam keluargaku yang merupakan keluarga super besar. Ayahku seorang pekerja rendahan di PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) di suatu desa terpencil. Kami sudah berjuang  keras akan tetapi memang keadaan yang tidak memungkinkan. Hanya kakakku dan aku yang bersekolah sampai sekolah menengah dan kau lihat sendiri ..... aku”. Ceritaku singkat yang didengarkan Jeki dengan penuh minat. Aku diam sebentar. “Nibe itu sudah sangat baik dan menarik, jangan berkecil hati, Nibe .... . aku yakin ayah bundamu dan juga adik adikmu pasti sebaik kau” bisiknya sambil mengelus keningku. Aku sungguh terharu dengan kata kata Jeki, sebab tidak pernah seorang pun berpendapat seperti itu, semua mencela, menghina dan merendahkan meki mereka terkadang tak jauh lebih baik dari nasib kami. “Kau ini seperti mampu melihat jauh Jeki” kataku sambil meremas jari jemarinya. “Tak sesulit itu kalau kita mau memepelajari logika” jawabnya. Ilmu logika pikirku. “Suatu keluarga, yang bergaji kecil, sudah berusaha keras, anak banyak, bertempat tinggal di daerah terpencil dan melihat kenyataan dirimu, maka aku bisa menarik kesimpulan ayah dan ibumu adalah pasangan yang jujur, masih mau dengan susah payah menyekolahkan engkau dan kakakmu. Itu berarti ayahmu berpandangan maju, maka berbahagialah engkau Nibe, punya keluarga sebaik itu” komentar Jeki dengan tenang. “Engkau sungguh terangku dan bidadariku Jeki, terima kasih .... terima kasih komentarmu sungguh tepat dan membangkitkan semangatku yang hampir pudar” kataku sambil memeluk dan mnciuminya. Jeki diam saja terlihat matanya berkaca kaca oleh haru. Kami diam beberapa saat. Hati kami gemuruh oleh pikiran masing masing. “Eh, Jeki sejak kapan engkau memelihara Black dan Brown” kataku sebegitu anjing itu muncul dari semak dekat kami duduk. “Sejak mereka masih orok. Aku dapatkan dia di selokan sementara ibunya mati terlindas mobil. Waktu itu kami regu Melati latihan menjelajah di Bogor” kata  Jeki. Kami kuburkan ibunya dekat situ dan kami berebut untuk memiliki kedua anak anjing itu. Akan tetapi karena aku duluan yang mendapatkannya maka aku bersikeras untuk memeliharanya” kata Jeki dengan bangga. “Dasar .. kamu” kataku sambil meremas rambutnya. “Eh, Dasar apaan?” sergah Jeki dengan sengit. “Kamu ini  ....... kalau punya kemauan  ..... ooo apipun kau terjang” kataku sambil tertawa dan berusaha meraih kepalanya. Jeki mengelak dan “ biarin .... biarin .... biarin .... haeh .... haeh” kata Jeki sambil meledekku dengan kedua tangannya diletakkan di kedua telinganya dan lidahnya dijulurkan kesana kemari. “Eh ... Jeki  jelek kalau begitu” kataku sambil menutupi wajahku. “Biarin ...  biarin .... biarin .... haeh .... haeh” kata Jeki dan tiba-tiba memeluk dan menciumiku bertubi tubi “Haeh ...... biar kapok... biar kapok .... kamu” desisnya. Aku  gelagapan karena kaget, Brown dan Black melihat kami dengan herannya. Mereka menyalak dan berlari berkejar kejaran masuk semak semak. “Heeh ... Jeki mereka berlari dan menghilang ada apa ini?” kataku memecah kesepian. “Kalau hatinya senang mereka mesti begitu” kata Jeki sambil beranjak berjalan untuk pulang, aku mengikutinya. “Jeki aku punya cerita akan tetapi masalah anjing” kataku. “Yah aku suka itu” jawab Jeki antusias. Kuceritakan tentang Brino, Kumbang, dan Yaguar anjing kesayangan keluarga kami dalam tugasnya membantu pekerjaan penjagaan di rumah dan kebun terhadap serangan babi hutan dan kera dan membantu menggembala kambing di hutan, akan tetapi sayang mereka kini sudah tiada. “Kena ... apa mereka?” kata Jeki dengan sedih. Waktu itu menjelang hari Raya Idul Fitri tahun 1960 para pegawai PLTA mendapatkan tunjangan hari raya yang lumayan jumlahnya. Rupanya berita itu tersebar sampai ke telinga para perampok. Mereka diam diam mendatangi desa kami. Untunglah di batas desa kami ada kali besar yang sedang banjir sehingga para perampok itu tertahan dan harus menanti sampai banjir reda sebab waktu itu belum ada jembatan seperti sekarang. Rupanya gerak gerik para perampok itu diketahui ketiga anjing kami. Kira kira jam 12 malam waktu ayah akan pergi bekerja aplosan malam, ketiga anjing yang biasanya tidur berjaga di sekitar rumah tidak terlihat. Setelah dicari terdengar sayup sayup menggonggong dan menjerit di arah sungai. Ayah segera membangunkan kami. Aku dan ayah berlarian ke arah bunyi gonggongan ketiga anjing itu, ternyata mereka sedang berjuang melawan para perampok yang jumlhanya 12 orang bersenjatakan pedang dan pistol. Maka kami segera berlari secepatnya menuju pos keamanan PLTA. Maka segera gemparlah desa itu oleh kentongan yang dipukul bertalu talu sebagai tanda bahaya. Dengan cepat para pemuda desa berlarian menuju sungai  dengan senjata bandil, pelanting dan kelewang. Maka tidak lama kemudian terjadilah perang batu dengan peluru akan tetapi para pemuda terus mempertahankan diri diluar jangkauan tembak pistol. Karena jumlah penduduk semakin banyak maka para perampok semakin terdesak dan akhirnya lari tunggang langgang meninggalkan desa kami. Dan kami dapatkan Brino, Kumbang dan yaguar terluka sangat parah. Mereka ditembak  dan ditebas dengan pedang sehingga tubuhnya nyaris terpotong jadi dua. Sebelum mati kumbang masih sempat menjilati tanganku, demikian pula Brino dan Yaguar. Aku dan adik adikku menangis sejadi-jadinya karena sedih dan marah. Setelah bercerita itu aku terduduk di pinggir jalan dengan hati yang sangat sedih mengingat kejadiian yang tragis itu. Tak terasa air mataku meleleh keluar. Mengetahui hal itu Jekipun menangis tersedu sedu sambil memelukku dengan erat. “Sudahlah .. Nibe, jangan sedih mereka telah berjuang dengan gagah berani dan setia sampai mati. Bersyukurlah bahwa mereka meski binatang, mereka tahu arti kesetiaan dan persahabatan. Kini Brown dan Blacklah sebagai pengganti Kumbang, Brino dan Yaguar” kata Jeki sambil menciumiku. Tak lama kemudian Black dan Brown datang dan duduk di hadapan kami. Rupanya mereka keheranan ketika keduanya kugendong dan kuciumi kepalanya sambil berjalan pulang menuju bungalow bersama Jeki. Sejak itu di desaku banyak orang memelihara anjing sebagai tenaga pengaman yang handal. Apa jadinya desa kita umpama tidak ada Brino, Kumbang dan Yaguar berani melawan para perampok itu kata mereka.

BERMAIN SULAP

Malam itu waktu aku duduk santai di lobby bersama Jeki dan bermain main bersama Black dan Brown dengan seutas tali yang kuikat pada sebuah kayu kecil. Mereka senang sekali berusaha mengejar dan menerkam dengan salaknya yang gaduh. Rupanya mereka belum pernah digoda semacam itu sehingga waktu istirahat kedua anjing itu menggumuliku dengan senangnya mengigit ringan celanaku dan terus lari menghindar sambil menyalak bergantian. “Mereka menyukaimu Nibe” kata  Jeki kelihatan cemburu sambil bertolak pinggang lengkap dengan senyum merekah kekanak kanakannya. Sementara aku terus membelai Black dan Brown bergantian. Keduanya tidur terlentang itu tanda bahwa anjing itu sangat berbahagia. Aku segera teringat akan brino, Kumbang dan Yaguar. Aku tertegun dan berhenti mengelus anjing itu. Rupanya sadar akan tingkahku, mereka segera bangkit dan berdiri di mukaku sambil mengibas-kibaskan ekornya seakan bertanya.” Ada apa Nibe? “ Aku segera sadar bahwa dia bukan Kumbang dan Brino anjing kesayanganku. “Kau melamun apa Nibe?”  suara Jeki memecah kesepian. “Eh, Nibe kau katanya bisa main sulap ayoh  Jeki diajari” kata Jeki sambil duduk didekatku. Aku bernafas panjang dan berkata. “Kau ambil kartu Britsen, korek api, telor asin, serbet makan, seutas tali dan gunting” kataku. Jeki segera bangkit sambil mencium tipis pipiku. Tidak lama dia datang sambil menyerahkan barang barang yang ku minta. “Akan tetapi ada syarat” kataku. “Syarat .... apa syaratnya” balas Jeki. “Ini hanya untukmu. Tidak boleh disebar luaskan dan aku harus kau ajari Cimande, bagaimana setuju?” kataku memastikan. Kelihatan mata Jeki berkilat-kilat oleh rasa senang. “Oke tawaran diterima, perlu hitam di atas putih” kata Jeki mulai menggoda. “Tidak, tapi perlu sentuhan anggota badan yang paling sensitif” kataku sambil menahan tawa. Sementara mata Jeki terbelalak kaget. “Kau mulai konyol Nibe?“  desisnya. “Tidak” kataku tegas. “Maksudmu ini kan?” kata Jeki sambil menunjuk bibirnya. “Tidak” kataku tegas. “Lalu yang mana?” katanya. Matanya mulai melotot ngeri mungkin dia takut aku bicara jorok. “Ini” kataku sambil mendekatkan tanganku pada mukanya. “Memangnya?” Jeki terlonjak kaget. Aku bangkit berdiri. “Memangnya kau dalam gelap akan mempergunakan bibirmu untuk mencri jalan?” kataku sambil tertawa. Jeki segera meloncat dan memukuli dadaku dengan gemas. “Kau ... kau... kau ini mesti membuatku penasaran dan gemas hih.. hih..” katanya terus saja menciumi mukaku bertubi tubi sehingga mukaku penuh dengan lipstiknya. Untung saja Kapten dan ibu Jeki belum pulang pikirku. Akan tetapi aku sempat melihat Mbok Yem lari terbirit birit kebelakang.”Eh, Jeki Mbok Yem tahu, lo ...” kataku. “Biarin” sergahnya terus dia duduk sambil menutup mukanya dengan rambutnya dan diam lama. “Jeki kalau begitu kau seperti setan” kataku. “Biarin” jawabnya “Tapi setan yang sangat cantik ...ya sangat cuantik ...?” kataku lagi sambil duduk didekatnya dan merangkulnya. “Biarin” jawabnya. Akan tetapi terus tertawa tergelak gelak. Rambutnya disibakkan, kami berpandangan dekat sekali. “Nibe betapa bahagianya aku......, aku kesepian apabila kau tidak ada, habis semuanya pendiam; ibu, Kapten, Mbok Yem” bisiknya. “Oke,  oke.. tuan puteri terus ini sulapnya lain hari saja ya?” kataku sambil bangkit berdiri dan meninggalkannya “Lho .. lho .. Nibe kau konyol lagi?” kata Jeki sambil menahanku dengan merentangkan kedua tangannya di mukaku. Jeki mendorong badanku dengan dadanya, aku terlonjak kaget, gadis ini sangat nekat sekilas terlihat dari pakaian tipisnya dia tidak memakai BH, terpaksa aku mengalah, kalau tidak siapa tahan, yang pasti aku bisa mati berdiri, aku mundur sampai aku terduduk di kursi oh,... mati aku kalau ini terlalu lama pikirku, “Sulapan akan dimulai ... akan tetapi ini dibersihkan dulu” kataku sambil menunjuk kemukaku, dia bangkit mengambil kertas tisu yang dicelupkan air putih “Sini ... sayang ... aku bersihkan kata Jeki dengan manja. Sementara dia membersihkan mukaku akau sempat berpikir ini mimpi atau beneran. Beberapa tahun yang lalu aku harus bekerja di dalam debu dan kerumunan lalat waktu ikut seorang pemulung. Berjuang mendorong gerobak pasir di terik matahari di jalanan yang menanjak. Dan harus mengisi 10 buah bak mandi di tengah malam yang dingin mengigit dari rumah satu ke rumah yang lain, bersimbah keringat menurunkan karung-karung beras dari truk gandeng dan menyusunnya di gudang ayah Liem Jing Hun, berebut mengangkut barang barang pedagang di pasar dan masih banyak lagi. Akan tetapi kini sudah 4  hari aku bersantai dan makan makanan lezat-lezat dengan bidadari secantik Jeki. Mimpikah aku pikirku. Seharusnya aku berpikir realis. Aku orang miskin yang terbuang dan Jeki anak seorang hartawan yang begitu baik hati yang mana kini Jeki sudah kelihatan sangat lengket padaku, demi cintaku padanya dan demi kehormatan pada keluarganya, aku harus berani meluruskan hal ini pikirku. “Sudah ... sudah bersih ayo sulapnya dimulai” kata Jeki menyadarkan lamunanku. Tidak lama kemudian terdengar klakson mobil di gapura. Aku tegak dan beranjak keluar. “Jangan, itu Mbok Yem sudah kesana” kata Jeki. Terlihat Mbok Yem berlari kecil menuju gapura. Tidak lama kemudian Kapten datang bersama ibu Jeki dan tiga orang anak sebayaku. “Selamat malam Nibe ... Jeki sedang apa kalian?” sapa ibu Jeki dengan ramah. Jeki segera berlari dan berteriak teriak senang menubruk mereka bersapa dan berciuman. Tidak lama kemudian Kapten melihat barang barang untuk praktek sulapan di meja lobby. “Malam anak anak ... untuk apa ini?” sapanya. “Malam Kapten, Ibu ... ini Nibe mau berdemonstrasi sulap kata Jeki dengan senangnya. “Oo ya .. Nibe?” kata ibunya Jeki  antusias. “Ah, sekedar main main saja ibu” kataku agak malu. “Ini kenalkan keponakanku dari Jakarta. Ini Tommy, ini adiknya, Wawan dan ini teman sekolah Wawan si Rossy” kata ibu Jeki. Aku segera berkenalan dengan mereka dengan senang. Terasa tangan Tommy bergetar dan mantap semantap bodynya yang besar dan kekar. Wawan jangkung seperti Liem Chiong  Gwan teman cinaku yang setia dan Rossy yang mungil gesit tapi kelihatan grogian. Otomatis mereka semua sebagai penonton. Sedang Black dan Brown mengikuti segala gerakku sambil mendekam di lantai menggeram menyalak kecil. Dia merasa kurang senang karena kurang diperhatikan. Acara pertama menghilangkan telor asin dengan serbet. Serbet kutaruh di atas tangan, terus Jeki aku suruh menaruh telur asin diatas serbet, terus serbet kukibaskan dan hub .... , telur asin hilang, tinggal serbetnya. Mereka  tertegun dan bersorak dan bertepuk tangan. “Eh, Nibe .. aku belum mengerti rahasianya, bagaimana?” kata Jeki antusias “Nanti saja” kataku. Acara kedua menyambung tali yang putus. Seutas tali panjang aku suruh Jeki menyambungnya dengan tali setengah. Setelah itu tali dekat sambungan aku pegang dengan serbet, ujung lain yang tergantung aku angkat dan dimasukkan serbet sehingga kelihatan dua ujung menonjol. Aku suruh Jeki memotongnya dengan gunting. Terus salah satu ujung yang tersembul aku suruh Jeki menarik perlahan. Ternyata tali tersambung lagi. Mereka tertegun dan bertepuk tangan. “Nibe.... ini aku tidak mengerti” bisik Jeki. “Nanti saja” jawabku. Kelihatan Jeki mulai cemberut. Kini kuambil sehelai kertas putih kusuruh Jeki menyulut dengan api maka kertas terbakar setelah hampir habis kututup dengan serbet, kuremas remas dan kubuka menjadi segumpal kertas kumal. Jeki kusuruh membuka pelan-pelan maka terlihat kertas tersebut menjadi uang kertas lima ribuan. Maka mereka tertegun dan bertepuk tangan. “Ini juga nanti rahasianya?” kata Jeki. Aku mengangguk. “Nanti, kalau mereka pergi aku buka rahasianya” bisikku. Jeki mengangguk. Selanjutnya kuambil korek api kunyalakan satu, setelah terbakar kira kira separuh kumatikan, kukatakan bahwa di ujung korek itu ada benang kecil yang tak kelihatan yang apabila ditarik bisa memotong anak korek tersebut. Aku mendekat kepada mereka agar mereka melihat dengan jelas. Dengan hati-hati kuambil benang tersebut dengan jari telunjuk dan ibu jari. Setelah itu benang kuikatkan pada kepala anak korek tersebut dengan gerak memutar seperti mengikat. Setelah itu ujung benang kuberikan kepada Jeki untuk dipegang dan ditarik. Dengan sedikit gaya seperti saling bertarikan maka tiba-tiba terdengar seperti barang patah dan ujung kepala korek api tersebut terpotong. Mereka bersorak. Wawan usul untuk dicoba lagi. Wawan memperhatikan dengan seksama, akan tetapi dia tetap tidak mengerti. Setelah itu permainan kartu, semua ada 10 permainan dan akhirnya ditutup makan malam. Jeki berkata bahwa semua bersyukur karena  keempat dari kami telah lulus ujian 3 orang dari SMA dan satu dari STM. Yang 3 orang akan meneruskan sekolah di UGM –DIY sedang aku akan mencari pekerjaan. Semua mata mengarah padaku. “Mengapa Nibe tidak meneruskan sekolah?” tanya Kapten. Aku terdiam sebentar terus kujawab. “Demikian Pak Kapten, saya dan kakak saya sudah merencanakan demikian, sebab kami ingin adik adik kami bersekolah”. Mereka semua bergumam dan mengangguk angguk. “Memangnya mereka belum sekolah?” tanya Jeki menyela. “Memang mereka sudah sekolah tapi cuma sampai Sekolah Dasar” jawabku. Semua terdiam. “Inilah anak anak, suatu kenyataan bahwa masih banyak di pedesaan anak anak yang tidak mampu bersekolah. Untunglah kamu kamu bisa bersekolah sampai perguruan tingggi, ini adalah kesempatan yang baik, maka kamu semua harus belajar dengan baik” kata ibu Jeki dengan tenang. Malam itu aku tidur bertiga dengan Tommy dan Wawan. Berbicara dan bercerita sampai dini hari. Aku menarik kesimpulan bahwa Tommy sebenarnya sangat senang dengan Jeki dan Wawan ingin membantunya. Aku menyadari diriku dan bersyukur bahwa yang kupikirkan siang tadi mendapatkan suatu jalan. Kuceritakan aku hanyalah teman pramuka Jeki. Beberapa  hari ini di sini sebab sakit dan aku sudah mendapat pekerjaan di suatu Proyek Pembangunan di daerah maritim Surabaya. Pagi pagi aku menyibukkan diri untuk membantu Mbok Yem di belakang. “Sudahlah, Den ini embok selesaikan sendiri, itu Den Jeki memanggil” kata Mbok Yem berkali-kali. “Mbok Yem jangan memanggilku den, aku malu Mbok ..  aku ini orang desa” kataku. Mbok Yem terkejut dan memandangku lama lama. “Lho katanya aden ini orang dari kraton Solo” kata Mbok Yem pelan. Ganti aku yang terkejut. “Siapa bilang?” kataku “Ya den, Jeki” jawabnya. “Jangan percaya Mbok, Jeki itu suka ngawur” kataku. Tiba-tiba Jeki muncul. “Nibe  kau ini dinanti kok lama sekali” katanya. “Apa acaranya?” tanyaku. “Lari pagi” jawab Jeki. “Aku di sini saja membantu Mbok Yem” jawabku. “Tidak bisa, kau harus bersama kami” kata Jeki terus saja menarik tanganku. Mata Tommy memandangku dengan tajam mengetahui kami hadir bergandengan tangan. “Ayo kita mulai saja” kataku. Aku segera bercanda dan berlari mendahului mereka dengan Black dan Brown yang rupanya takut tidak mendapat perhatian, di belakangku Jeki dan Tommy dan terbelakang Wawan dan Rossy. Hari ini badanku sudah segar bugar sehingga dalam waktu singkat mereka teringgal jauh. Jeki berteriak teriak memanggilku. Kubiarkan saja sebab aku sibuk dengan Black dan Brown  yang menyalak, menjilat dan menggigit ramah celanaku sambil berlari. Rupanya Jeki tak kurang akal dipanggilnya Brown an Black. Kedua anjing itu berhenti dan ragu ragu menentukan pilihan. Setelah agak jauh kupanggil namanya dan dia segera berlari cepat mengejarku. Kulihat Jeki jengkel sekali. “Awas kau ... Black, Brown tidak aku beri makan hari ini” katanya. Sengaja aku beri kesempatan Tommy agar bersama Jeki dan aku berpacu secepatnya dengan kedua anjing itu sehingga dalam waktu singkat sudah sampai di bungalow. Mbok Yem keheranan melihat kehadiranku bersama Black an Brown. “Mana yang lain ... Den?? katanya. “Mbok Yem panggil saja aku Nibe, itu namaku” kataku kesal. “Iya nak Nibe” kata Mbok Yem pelan. “Terima kasih, Mbok Yem. Ada pekerjaan untukku?” tanyaku. “Tidak ada den  ...eh, nak Nibe”  jawab Mbok Yem hampir salah lagi. Aku berjalan menuju gudang kulihat persediaan kayu bakar hampir habis. Terlihat pohon pinus midelin 20 cm suah terpotong potong oleh gergaji Chain saw terlihat pula kapak besar tergantung di dinding kayu. Oke sekedar pemanasann pikirku. Kayu pinus aku belah kecil kecil dengan kapak. Sebentar aja sudah dapat 3. Bungkul kayu masih tersisa 10 batang. Pada kayu yang lima Jeki dan Tommy datang. “Gila kamu Nibe,  mengapa kau duluan” kata Jeki masih kelihatan jengkel. “Kayu bakar Mbok Yem hampir habis” kataku sambil mengayunkan kapak. “Eh, Nibe ganti aku ... ini termasuk olah raga berat ala Barat” kata Tommy. Rupanya Tommy juga mau menunjukkan kebolehannya. Setelah dapat 2 balok tiba-tiba ibu Jeki datang. “Eh, apa-apaan ini ayoh anak anak Kapten menunggu kalian untuk sarapan” kata ibu Jeki sambil geleng geleng kepala., kami bertuju mengelilingi meja besar yang ditaruh dekat taman belakang. Kapten berdoa “ya Tuhan berkatilah kami dan segala makanan yang akan kami terima dari kemurahan Mu Amien”. Tidak lama kemudian Mbok Yem datang, Nak Nibe teman anda datang. Aku beranjak akan tegak. “Mbok ajak teman Nibe kesini, biar sarapan bersama” kata ibu Jeki. Mbok Yem segera pergi. Ternyata yang datang Carrulos dan Pak Hara bosku. Kapten segera tegak dan menyambut Pak Hara dengan hangat. “Mana Nibe, katanya sakit” kata Pak Hara mencariku. Aku tidak terlihat sebab sedang memberi makan Black dan Brown. “Saya Pak, sudah sembuh” kataku sambil menyalaminya. Makan pagi itu sangat berkesan sebab baru kali ini Kapten mau bicara banyak pada kami. Hari itu aku pulang bersama Pak Hara dan Carrulos ke Malang. Sementara kulihat Jeki kelihatan sangat jengkel sebab aku lebih memperhatikan Black dan Brown daripada dia.


LATIHAN FISIK YANG BERAT

Libur panjang itu kami pergunakan untuk latihan menembak dan latihan Dasar silat Cimande. Di suatu tanah datar yang luas , 100 m dari Bungalo dibangun arena olah raga pribadi ,  disusun karung karung plastik warna warni diisi pasir setinggi kurang lebih 2 meter. Ada yang dibentuk jalan menikung di mana karung pasir dipasang sebelah menyebelah, ada yang dibentuk seperti perempatan jalan, jalan menanjak curam dan menurun tajam. Ditempat lain dibangun suatu arena  persis seperti tempat latihan beladiri Kungfu di tanah China. Ada seperangakt alat katrol, restok, halter, ayunan, tong tong berisi pasir panas sebab terlihat di bawahnya dipasang kompor tekan minyak tanah, bola bola baja yang bergigi tajam bergelantungan di kayu palang yang panjang. Beberapa buah kayu palang kecepatan dan ketangkasan dipasang di tempat berpasir yang terik dan 4 buah sand sack ukuran raksasa. Sore itu kami berlima datang ke tempat itu. “Hebat” bisikku. “Ini salah satu tempat paling disenangi Kapten. Setiap 2 atau 3 hari kapten menyempatkan diri untuk berlatih di sini bersama dengan ajudannya” kata Jeki dengan senang. Aku mengernyitkan alis mau tanya. “Iya, kata Kapten ketangkasan dan kekuatan harus selalu dilatih, kalau tidak akan hilang” katanya lagi.

MELURUSKAN ITU SAKIT



Aku tidak langsung pulang ke Bunul sebab harus  menyelesaikan laporan akhir dan beberapa gambar di kantor Pak Hara sambil digojlok habis-habisan oleh teman teman kantor perihal hubunganku dengan Jeki. “Menurut kamu bagaimana?” kataku akhirnya “Lho kan kamu yang seharusnya menjawab” kata mereka. “Asal tahu saja ya kami hanya berteman biasa sebentar lagi dia ke Jogya untuk sekolah dan aku ke Surabaya untuk bekerja, oke?” jawabku terus keluar dari kantor. Sore itu aku sampai di rumah kaget bukan main. Terlihat Jeki menyirami bunga bunga di taman kecilku dibantu Kardi Tj. Kelihatan mimiknya sangat memilukan, satu persatu bunga bunga itu dielusnya dengan mesra sementara air mata berlinangan sepertinya bunga bunga itu benda yang sangat berarti baginya. Dia sengaja tidak menghiraukan kehadiranku. Pelan pelan Kardi Tj. kuajak kebelakang dan menerangkan bahwa sejak jam satu siang tadi Jeki datang dan marah marah dan Kardi Tj. yang tidak tahu sebab musababnya kena sasaran. Dia disuruh belanja ke pasar Bunul tempe, tahu, kikil dan bumbunya, sabun cuci, sabun mandi, beras dan buah buahan. Sementara Jeki membersihkan seluruh isi rumah, mulai dari menyapu lantai, membersihkan meja kursi dan peralatan rumah seluruhnya yang sudah 10 hari tidak tersentuh tangan. Terus masak nasi dan sayur tahu tempe dan kikil. Sambil sewot tanpa secuil senyumpun kata Kardi Tj. kelihatan memelas. “Ada apa ta Nibe...,  mbak Jeki kok seperti itu, tidak seperti biasanya plengah plengeh” kata Kardi Tj. sambil memandangku lama lama. Aku tertawa geli dia kupeluk sambil kugosok kepalanya. Aku menyadari tanpa Kardi Tj. aku pasti kesepian, aku sungguh terhibur pada setiap omongan Kardi Tj. yang lucu itu. “Lho, kok kamu tanya aku, ya sana tanya Jeki” kataku. “Lho aku tadi juga tanya, ada apa to mbak Jeki kok sewot terus lalu di jawab dengan hardikan. “Kamu anak kecil tahu apa ... ayo ke pasar” kata mbak Jeki sambil menyerahkan daftar bahan yang harus dibeli dan segumpal uang”. Aku tertawa terpingkal pingkal mendengarkan kata Kardi Tj. Setelah reda. “tadi masak banyak?” tanyaku. “Sangat banyak” jawab Kardi Tj. “Begini saja kamu ke Kak Ronny dan minta tolong untuk memanggilkan teman teman regu Burung Hantu dan regu Asparagus untuk datang kesini sore nanti, oke?” kataku. “Untuk apa?” kata Kardi Tj.  “Untuk malam perpisahan, itu pakai saja sepeda Jeki”kataku. “Apaaaa ..... perpisahan? Nanti kalau mbak Jeki marah?” kata Kardi Tj. “Nanti aku yang tanggung” kataku sambil sekali lagi menggosok kepalanya. Aku segera bergegas mendapatkan Jeki yang ternyata berdiri di muka kaca sambil nyisir rambutnya. “Selamat siang Jeki.... apa kabar?” tanyaku ramah. Kulihat mukanya tertutup oleh rambutnya yang hitam tebal. Dia diam saja. Hatiku berdetak-detak menantikan jawabanya, kejutan apalagi yang harus aku terima pikirku.tiba tiba rambutnya disibakkannya ke belakang. Terlihat wajah cantik manis berpupur tipis menatapku dengan senyum yang paling manis yang pernah aku dapatkan. Aku sungguh terkejut tidak tersangka sama sekali dengan dugaanku semula. Sesaat kami berpandangan tajam dalam kaca. Tiba tiba kami tertawa bersama saling menunjuk pada hidung masing masing. “Kamu cemburu kan?” katanya. “Tidak” jawabku. “Cukup!, aku percaya kau, tapi lihat itu muka kamu” katanya sambil menarikku ke kaca. Terlihat mukaku merah padam menyembunyikan perasaan. Tiba-tiba dia memelukku kuat kuat. “Nibe .. sayang mengapa kau masih meragukanku?” katanya. Aku diam sambil memandang dan membelai rambutnya. “Jeki aku tidak meragukanmu.akan tetapi kita harus melihat kenyataan” jawabku hampir tak terdengar. “Aku sungguh bahagia hari ini” katanya kelihatan matanya berkilat kilat. “Mengapa?” kataku. “Karena kau cemburu” katanya sambil tertawa. “Aku duga kau sangat sedih dan marah marah” kataku sambil memrperat pelukan. “Memangnya ya, tadi aku menangis sambil bekerja, Kardi Tj. tahu itu” jawabnya sambil menundukkan muka malu. “Mari kesini” kataku sambi menarik tangannya ke kamar tamu. Ada sesuatu yang aku sampaikan kataku sambil meremas jemari tangannya. Dia memandangku lekat lekat. “Perjalanan kita ini masih jauh Jeki ... kita baru menginjak lulus SLTA, masih sangat banyak yang harus dipelajari dalam hidup ini, aku tetap dengan rencanaku” kataku hampir tak terdengar meski sudah beberapa kali aku nyatakan padanya rupanya hal itu tetap menjadikan hal yang mengejutkan baginya. “Terus kita berpisah?” bisiknya. “Ya sementara, aku di Surabaya dan engkau di DIY rencanaku sambil kerja aku juga akan kuliah sore” kataku sambil menghela nafas tidak ada komentar. “Nibe engkau kerja di DIY  saja ya?” katanya tiba-tiba. Aku mengernyitkan alis dan sekali lagi tersenyum lagi padanya dan diam. “Nibe jawab aku” katanya manja. Aku masih diam.  Tiba-tiba Jeki memeluk dan menggigit perutku keras keras. “Aduh ... aduh ... Jeki sakit nih” kataku mengaduh. Jah memang sakit sungguhan. “Cepat jawab .. kalau tidak ...” Jeki sudah siap akan menggigit lagi. “Ya... ya ... tuan puteri hamba menjawab” kataku sambil menyembahnya. Jeki tertawa cekikikan sambi memukul mukul bahuku. “Engkau ini Nibe ayo cepat!” perintahnya. “Eh, aku lupa menjawab apa ya?” kataku menggodanya. “Oh, kamu ini” katanya terus mengambil palang pintu langsung memukulku. Aku merunduk mengelak dengan gesit dan langsung memeluknya erat erat. Entah mengapa kami langsung saja berciuman sambil memejamkan mata. Lama sekali tersadar setelah palang pintu itu lepas dari tangan Jeki dan menimpa gitar yang  tersandar di dinding. Jreeeng. Kami duduk lagi di kursi sambil saling memandang dengan berjuta rasa bahagia. Jeki merebahkan kepalanya di dadaku dan aku mengelus rambutnya yang acak acakan dengan penuh kasih. “Jeki dengar aku ... bukankah engkau menghargai orang yang memenuhi janji” bisikku. “Itu pasti ...Nibe” jawabnya pelan. “Aku telah berjanji kepada seseorang” kataku. Jeki terkejut dan tegak dan memandangku lekat lekat. “Siapa?” cetusnya. Aku menarik nafas panjang terus berkata. “Seorang kontraktor bangunan di Surabaya” jawabku. “Jadi kau akan bekerja di proyek bangunan di daerah Marinir Angkatan Laut itu” jawab Jeki dengan lantang sebab hal itu pernah kukatakan padanya. Aku mengangguk. “Mengapa engkau pilih di sana Nibe, bukankan di DIY ada banyak juga bangunan bangunan besar” jawab Jeki agak sewot. “Tahulah Jeki ... sifatmu hampir sama denganku suka akan tantangan .... letak bangunan itu di daerah bekas rawa dan itu jelas banyak problema yang harus dihadapi. Bukankah engkau katakan keberadaan problema adalah suatu tantangan dan adanya tantangan adalah suatu kesempatan untuk maju dan berprestasi, dan prestasi adalah suatu jalan mulus menuju karier?” jawabku berdiplomasi. “Nibe .... Nibe ... engkau persis seperti Kapten?” katanya sambil memelukku erat erat. “Baiklah ..... baiklah .... kita berpisah demi cinta dan karier” jawabnya kemudian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sikahkan Posting Saran atai kritikan maupun komentar pada form di bawah ini